3. Jangan Membentakku, Ibu

22 2 0
                                    

Oleh: triboymustika

***

"Makan!"

Hardikan itu begitu keras. Membuatku berkeringat dingin. Berusaha menahan tangis, mataku terasa panas, tak urung, air bening itu bergulir pelan. Berusaha mengunyah nasi yang tidak bisa lagi kurasakan nikmatnya.

"Kalau kamu tidak makan, kapan akan sembuh?"

Suaranya kembali meraung. Menggelitik gendang telingaku.

"Sudah dua hari, kamu tidak sembuh-sembuh. Kerjaan Ibu banyak, Aryo. Bukan cuma ngurusin kamu! Awas, kalau sehabis mencuci baju, dan Ibu masih melihat piring ini berisi makanan, Ibu akan jejalkan ke mulutmu!" Ibu beranjak dengan wajah merah, penuh amarah.

Kenapa Ibu selalu merasa direpotkan setiap kali aku sakit? Aku ini manusia juga. Pasti wajar kalau sesekali sakit. Lagian ini cuma demam biasa. Namun, setiap kali melihatku terbaring lemah, tensi Ibu selalu naik.

"Kalau kamu sakit, sekolahmu jadi terganggu. Ibu juga jadi repot. Ini semua gara-gara kebiasaan anehmu itu. Ibu sudah bilang jangan begadang! Masih saja begadang. Teman-temanmu ga' ada yang beres. Kalau kamu sudah sembuh nanti, Ibu haramkan kamu untuk berkeliaran malam-malam!"

Aku ini lelaki. Wajar donk, ya, begadang dan kelayapan. Kalau di rumah, mau ngapain? Masak nasi? Nyuci piring? Huh, di mana harga diriku sebagai seorang pria? Aku butuh manusia lain untuk bersosialisasi. Dasarnya Ibu saja suka uring-uringan. Kaya' orang yang paling baik saja di dunia.

Dengar ya, mulai dari aku kecil sampai sekarang, Ibu selalu nyebut-nyebut kebaikannya dan selalu mengatakan aku ini anak yang tidak tahu diuntung!

Sumpah, kalau dia bukan ibuku, dan kalau saja tidak mengingat jasanya membesarkanku, sudah lama aku hengkang dari rumah ini.

Banyakkah ibu seperti ini? Semoga tidak ada lagi orang lain yang mengalaminya. Kalau tidak ikhlas beranak, jangan beranak. Kalau bisa aku memilih, emoh akh, lahir dari rahimnya dia. Ibu apa itu yang selalu membentak, menghardik, merendahkan anaknya sendiri. Apa pun yang aku lakukan, selalu salah di matanya.

So? Haruskah aku tetap tinggal?

Dan sekarang dalam ketidakberdayaanku karena demam sialan ini, aku kembali menaruh harap agar Ibu mau merawatku. Walau kata-katanya masih melukaiku, tapi kutahan. Biarlah ... luka ini kutanggung sendiri. Toh setelah aku sembuh, aku akan pergi jauh dan meninggalkannya sendirian di rumah kecil dan jelek ini. Biar dia merana sampai mati dalam kesepian. Di saat itu tiba, dia akan sadar, kalau aku ini seharusnya menjadi suluh benderang bagi jiwanya, bukan seseorang yang dia anggap merepotkan hidupnya.

***

Sementara anak lelaki itu sibuk mendumel, sang Ibu sedang mencuci sebaskom pakaian. Hatinya tidak pernah tenang kalau Aryo sakit. Bukan dia tidak mau mengerti dengan keadaan anaknya itu. Dia hanya takut, kalau penyakit tersebut akan membawa anaknya pergi jauh. Seperti sang Suami yang akhirnya bertolak ke hadirat Illahi hanya karena sakit kepala. Semua itu membuatnya trauma.

Makanya, sedaya-upaya dia mengusahakan kesembuhan bagi putera semata wayangnya itu. Terkadang dia harus mengasari Aryo agar mau minum obat, agar mau mengisi perutnya dengan nasi. Dia melihat jelas kekesalan anaknya ketika dibentak. Namun, tiada cara lain. Tidak ada yang mengajarkan ketegasan dan kekuatan kepada Aryo pasca suaminya meninggal. Aryo seperti kehilangan suri teladan. Masih ingat di ingatan, bagaimana Aryo begitu terpuruk ketika sang Ayah menghembuskan nafas terakhirnya.

"Ya Allah, ya Tuhan, sembuhkanlah anak hamba. Angkatlah penyakitnya. Sungguh, hamba tidak tega melihatnya lemah tidak berdaya seperti itu. Kembalikan cahaya hidup anak hamba, ya, Allah." Sambil mencuci, mulutnya tidak lepas berdoa. Sementara airmata jatuh berderai, menaruh harap kepada Sang Pemilik Semesta, agar diberi kesembuhan buat anak tercinta.

***

Sayangilah Ibu ..., Semarah-marahnya beliau, itu hanyalah kamuflase untuk menutupi hatinya yang berada dalam kesedihan.

CERITA KITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang