"Jangan lupa ngepas gaunnya, Lia...kamu itu gimana sih gak peduli banget sama pernikahan kamu sendiri" suapanku terhenti mendengar suara ummi ku. Kupejamkan mataku, mencoba memgambil nafas. Rasanya nasi goreng yang tadi masuk ke mulutku kini tertahan di dadaku. Sesak. Susah payah aku harus mmmgambil nafas. Pernikahan? Pernikahan siapa? Aku? Pernahkah orang tuaku mempertimbangkan keberatanku.
"Lia, kamu dengar ummi gak sih" kuraih gelas air putih di depanku.
"yap...iya ummi ku sayang....entar abis dari kantor. Okay!!!" kuselesaikan sarapanku secepat mungkin biar bisa segera menghilang dari scene ini. Kuliat Abahku hanya menatap ku dibalik korannya. Dia tahu pasti keberatanku, tapi dia pun tak sanggup menentang ummi. Tidak ada yang bisa menentangnya, karena bagi kami anak anaknya keinginannya adalah titah. Mutlak di patuhi.
"Lia ke kantor yah...." kucium punggung tangan kedua orang tuaku. "Assalamu alaikum"
Huft....bernafas lega. Sejenak. Kenapa pernikahanku begitu penting bagi Ummiku? Karena aku si sulung yang sudah 32 tahun dan masih single sementara kedua adikku sudah punya keluarga masing masing. Jadilah aku bisa dikategorikan beban moril buat kedua orang tuaku. Mereka tidak mau melihatku sendiri seumur hidup. Dan entah bagaimana caranya disatu hari yang bagiku abu abu datanglah kabar untukku, kalau ada lelaki tolol yang sudi menjadikan aku istrinya. Bhuahahhhah....aku harus bagaimana? Bahagia? Terharu? Akhirnya ada juga yang membebaskan ku dari kutukan jomblo. Tapi tidak, bagiku ini berarti ultimatum, marah itu yang kurasa. Mengapa harus sekarang? Mengapa harus menikah sekarang, setelah aku sudah membulatkan tekad mendedikasikan diriku mengurus orang tua. Sudah bertahun tahun aku tidak memikirkan kata itu lagi. Sudah bertahun tahun aku membekukan hati dan tidak ingin membukanya lagi. Tidak. Aku sudah memutuskan menjalani hidupku sendiri. Semua berawal dari hari itu,
Aku baru pulang kantor ketika melihatnya di ruang tamuku,
"Nah ini Alia pulang, lama amat sih nak. Ummi sudah sms nyusuh kamu cepat pulang" aku melongo bingung. Berusaha tersenyum demi ramah tamah. Semua mata tertuju padaku.
"Duduk sini Lia" kini Abah ku ikut bersuara. Ummi menggiringku ke sofa di samping Abah. Matanya menatapku, jelas saja aku kikuk. Apa ini? Kenapa seolah aku pesakitan.
"ini loh bu anak kami, Alia" Ummi sepertinya sedang promosi, aku meliriknya dengan ekor mataku. Di depan kami duduk seorang ibu mungkin seumuran Ummiku dan seorang bapak yang kira kira juga seumur Abahku. Di tengah mereka, pria itu yang sekarang matanya tertuju padaku, kikuk. Okay. Apa ini?
"eh Alia, kenalin anak ibu nih namanya Irga" ibu itu masih tersenyum manis padaku, seolah kami sudah kenal lama dan sudah sangat akrab. Tipikal ibu ibu arisan yang saling menawarkan barang dagangan disela sela arisannya. Dua ibu ibu di ruang tamu ku punya binar yang sama. Si laki yang rupanya juga merasa pesakitan kini tertunduk, meraih cangkir teh di depannya. Aku masih melongo, menatap tolol kedua orang tuaku bergantian.
"ini nak Irga, Lia....pengen kenalan sama kamu" kedua alisku bertaut mendengar ummiku, di seberang sana si laki tiba tiba tersedak. Kualihkan pandanganku padanya. Pandangan kami bertemu. Dia kembali tertunduk. Aku dalam hati tertawa, laki ini lagi mau kenalan ama cewek atau lagi mo ngambil raport...ditemani orang tua? Tanpa sengaja aku tertawa, kurasakan pahaku perih, siaaaal...cubitan Ummi mendarat di pahaku. Dia melototr garang. Aku membalas pelototanya. Aku merusaha beredakan tawa kecilku menutupinya dengan senyuman. Rasanya ingin teriak padanya, hari gini kenalan sama cewek harus ngajak orang tua? Oh pantas saja seumuran dia masih nyari bini. Tunggu...tunggu....nyari bini? Mati aku....jangan jangan maksudnya ini kenalan buat nyari bini? Aku? Seumuran dia nyari bini? Jangan jangan dia duda? Seumuran ku berharap perjaka sama tidak mungkinnya kan? Mungkinkah saking desperatenya orang tuaku rela anak gadisnya di pinang duda beranak banyak? Pikiran itu semakin bikin aku panik. Jadi ibu tiri, sungguh tidak pernah ada di benakku. Tiba tiba aku merinding.