T i g a

281 4 3
                                    

"Mama....."gadis kecil itu berlari menghampiriku, ekor kudanya melambai lambai. Aku tersenyum menyambutnya. Dia menjatuhkan dirinya di pelukanku. Oh...aku merindukan putri mungilku. Seminggu tugas luar memang bikin kesal kalau harus meninggalkan mereka. Kukecup pipi putihnya.

"mama lupa alya??" sekarang arya-putra ku-bergayut di tanganku. Aku menariknya kepelukanku. Mereka berdua jantung hatiku sekarang, sejak mengeliat di dalam perutku aku sudah jatuh cinta. Yap...kupikir aku tidak akan pernah lagi jatuh cinta, aku tidak pernah bermimpi dititipi dua bayi sekaligus, ini anak kembarku. Rhea dan Arya.

"sudah....sayang-sayangannya dilanjutin di rumah...yuk"Irga sudah berdiri di samping kami.

"gimana kerjaan kamu? Udah beres?" tanya Irga saat mobil kami sudah melaju meninggalkan bandara. Aku hanya mengangguk.

"mam....lea mau es klim" rengek putri kecilku.

"kata papa kamu blom bisa minum esklim masih flu" gantian Arya menyahut. Dari kaca di depanku kulihat wajah cemberut Rhea.

"dia flu?" tanyaku pada Irga

"hmmm....Rhea susah dibilangin...sama keras kepalanya kek kamu" Irga melirikku dengan ekor matanya. Hah....kalau soal keras kepala mungkin aku jagoannya malahan bagi Irga aku bukan lagi keras kepala tapi kepala batu. Dalam lima tahun pernikahan kami sudah tak terhitung berapa kali kami harus berdebat masalah sepele. Kalau bukan karena Irga yang selalu mengalah aku yakin kami sudah bubar sejak dulu.

"Sekarang nyesal punya istri keras kepala?"

"Yap...."jawabnya enteng...sial....dia selalu saja seperti itu. Pertanyaan jebakanku berakhir dengan aku yang kehabisan kata.

"Nyesal kenapa gak dari dulu nikahin kamu sebelum kepala kamu jadi batu" double sial....see....suamiku ini paling senang membuatku speachless. Sekarang dia tersenyum jail..awas kau!!!? Aku mengarahkan tinjuku ke bahunya, tapi belum sempat mengenai bahunya dia sudah menangkap tinjuku. Tanpa mengalihkan padangannya, dia tariknya tanganku, dengan lembut dia mencium punggung tanganku.

"Irgaaaa.....ih apa apaan sih....anak anak tuh...." kutarik cepat cepat tanganku dari genggamannya, berbalik melihat kedua bocahku yang kini menatap kami dengan mata polosnya.

"Lea boleh dapat eskklim gak?"

"alya juga Mama...alya kan gak flu...."keduanya malah saling sahutan dibelakangku. Akh...bocah bocah ini....mungkin mereka belum mengerti apa yang terjadi dengan kami. Pernikahanku yang kelihatan baik baik saja sejujurnya tidak demikian kurasakan. Aku dan Irga berusaha menjalaninya dengan normal. Akh....apa defenisi normal? Bahkan menjadi ibu anak anaknya belum juga membuatku mencintai Irga. Cinta? Masihkah aku berharap cinta? Menikah dengan Irga hanya dengan logika. Itu yang kurasa. Akupun sejujurnya tidak yakin apakah Irga sungguh sungguh mencintaiku? Disaat aku masih mempertanyakan logika pernikahanku, cinta itu kembali mengusikku. Perjalanan seminggu ku seolah memutar kembali kenanganku, mendetakkan kembali jantungku.

Aku tidak tahu kegilaan macam apa yang kualami seminggu ini. Mereka bilang cinta itu buta...maka aku buta total seminggu ini.

"Alia...."suara berat namun sanggup menggetarkan jantungku. Suara itu...suara yang nyaris sepuluh tahun tidak kudengar tapi hatiku selalu mengingatnya.

"Doni......"dengan suara tertahan....sosok itu mendekatiku....pelan tapi pasti sosok berjalan ke arahku.

"Hai...gimana kabar kamu?"

"Baik...."aku gelagapan.

"Sorry Don...aku gak bisa lama lama...masih harus nyari jemputanku" aku harus meloloskan diri darinya sebelum dengan tololnya aku menyerahkan diri padanya. Kuseret koperku. Berharap menemukan namaku diantara papan papan nama yang berderet di pintu keluar bandara.

A L I ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang