Bab 1

32.2K 3.9K 183
                                    

Sebaik-baiknya makeup adalah yang bisa menggaet cowok, bukan mengusir cicak.
―London Sarasvati―

***

Eyeliner setajam silet? Check!
Eyeshadow gadis naif? Check!
Bulu mata anti depresi kerja? Check!
Blush on gemeus? Check!
Lipstik panas-dingin? Awesome!

London memberikan kecupan jauh pada refleksi wajahnya di cermin. Si Centil puas pada hasil kerja jemarinya dan senjata tempur Mahadewi slash makeup. Makeup mata natural ala Korea paling tepat untuk sepasang mata sipitnya yang menurun dari sang mami. Blush on matte pink selaras dengan kulit kuning langsat hasil campuran kulit putih mulus mami dan sawo blenyek bapaknya. Jangan lupakan bibir plek ketiplek si bapak yang bergincu merah cabai.

Cermin oh cermin yang jujur, siapa wanita paling cantik di dalam toilet ini?

Kamu.

Aku? Masak sih?

London menengok ke kanan, mendapati seorang wanita di akhir empat puluh tahun tengah membetulkan alis asimetris super tebal yang sanggup menggeser posisi Shinchan. Ibu-ibu satu ini perlu mengenal concelear, pikir London sambil menggeleng kecil.

Memutar kepalanya ke sisi kiri, mata London membulat takjub. Seorang gadis di awal dua puluh tahun tengah membetulkan tali bra, membiarkan lengan kemejanya melorot sampaiーoh apa itu yang menyembul dari ketiaknya? London bergegas membereskan perlengkapan Mahadewi-nya ke dalam pouch.

"Gila," desisnya begitu keluar dari toilet. Baru kali ini dia melihat seorang gadis yang demikian frontal. Meskipun mereka sama-sama perempuan, nggak sepantasnya gadis itu membetulkan tali bra hingga―London menggelengkan kepalanya kuat-kuat, mengenyahkan bayangan bulu-bulu halus pada ketiak gadis tadi.

"Benar-benar deh, cewek itu. Apa dia nggak pernah kenal yang namanya Veet? Waxing? Zap hair removal?" gerutu London sepanjang jalan menuju koridor lift, sama sekali nggak mengindahkan orang-orang yang menatapnya aneh. Siapa yang bisa menolak tontonan seorang wanita berbaju semerah tomat mengomel sendirian sambil jalan.

Lift terbuka tepat di saat London baru akan ikut mengantri. Dia turut masuk ke dalamnya bersama seorang perempuan. Berdiri paling depan menghadap pintu lift yang serupa kaca, lagi-lagi, London dibuat ingin senyum sendiri menatap refleksi wajahnya. Bingung mengapa dia selalu tampil maksimal bahkan di saat jam pulang kantor tersisa tujuh puluh menit lagi.

Apa London menghitung sisa jam kerjanya segitu detail? Yup, London ogah menyia-nyiakan waktu bersantai di atas kasur hanya demi tampak sibuk ala karyawan kantor. Nggak London banget!

Seorang perempuan yang berdiri di samping kiri London melirik turun-naik, berulang-ulang pada penampilannya. London melihat jelas gestur mencurigakan perempuan berpakaian overall floral yang nggak matching dengan polo shirt yang dikenakan.

"Ada apa ya?" Tanya London bingung.

"Hah?" Si perempuan menanggapinya kaget. Seolah nggak sadar sudah bertindak aneh yang bisa dijadikan gugatan ke pengadilan dalam pasal tindakan tidak menyenangkan.

London berdecak takjub pada idenya mengajukan gugatan. Baru bekerja sebagai legal staff, London mulai pintar menggunakan perundang-undangan.

Ting.

Lift membuka pada lantai yang dituju London. Dia mengabaikan perempuan overall itu.

Mungkin fans baru, pikirnya narsis sembari melangkah bak model menyusuri catwalk.

Kantor tempat bekerja London berlokasi sangat strategis, begitu keluar lift, tinggal nengok kanan, jalan sepuluh langkah, dan pintu masuk perusahaan terbuka lebar. Senangnya bekerja di perusahaan yang menyewa ruang kerja nggak merepotkan begini. London menyibak rambut di tepian telinga manakala dia melangkah masuk, mengabaikan resepsionis yang meliriknya ketus. Nasib cewek cantik memang merepotkan, banyak saja yang iri. Terutama perempuan dalam status waspada umur.

Takut calon yang mau diajak ke depan penghulu diserobot London.

Andai saja mereka tahu London bisa tampil sekece ini karena usaha keras. Bukan sekadar anugerah dan doa. Beauty is pain, Gals!

"Lo udah menyiapkan kontrak-kontrak yang dibutuhkan anak marketing?" Pertanyaan Sabda menyambut London yang baru tiba di kubikel bagian GA.

"Masih Senin depan, bang. Nggak usah buru-buru dikerjakan," sahut London sambil melesakkan pantatnya pada kursi. Sisa enam puluh dua menit sebelum pulang, Si Centil galau mau mengerjakan apa.

Padahal kontrak-kontrak yang ditanyakan Sabda bisa jadi kerjaannya sebelum pulang. Setelah lepas dari masa probation, London makin seenak jidat bekerja. Maklum saja, dia tipe yang 'last minutes' worker. Kalau belum menit-menit akhir dikerjakan, hasil kerjanya sering kurang memuaskan.

"Mending dikerjakan segera, sebelum ditagih anak marketing. Nanti lo yang keburu-buru kerja malah berasa diteror," saran Sabda sebelum kembali ke meja kerjanya yang berada membelakangi meja London.

"Bener kata Sabda. Marketing kadang rese kalo lagi ngejar target. Bisa-bisa lo ikutan lembur kayak mereka. Demi kontrak, demi target, mereka bisa nekad menyambangi ruangan Mr. William buat memastikan lo stay di sini menyelesaikan semua kontrak yang mereka minta," tambah Mas Iqbal tapi bukan Iqbal-nya Dilan. Iqbal yang ini melendung mirip si Kentang dalam Tuyul dan Mbak Yul.

London bergidik pada info yang disampaikan Bang Iqbal, rekan kerja yang duduk di sebelah kubikelnya. Seram banget diteror kontrak begitu.

"Mbak," panggil seseorang yang berdiri di depan dinding kubikel London.

"Hm," balas London tanpa mau repot melihat orang yang memanggilnya. Dia memilih sok repot menyalakan komputer yang tinggal pencet sekali tombol power.

"Kontrak yang diminta marketing sudah disiapkan?"

Badan London menegak sekaligus tegang. Baru tadi dia berpikir menyeramkan diteror kontrak, telah datang satu anak marketing ke depan kubikelnya.

"Masih dikerjakan," kilah London yang belum sama sekali memroses pengajuan kontrak yang membobol email-nya sejak tiga hari lalu.

"Semuanya belum, mbak?" Tanya pria muda itu penuh kekecewaan.

London memaksakan senyum meringis. "Aku kerjakan dulu ya. Paling lambat besok sore aku send ke email marketing."

"Sudah ditanyain Pak Giand. Harus dikejar sebelum triwulan depan."

London berdiri lalu menarik tangan si pria yang bertopang pada dinding kubikelnya. "Tolong sabar ya." Jangan pake neror. "Aku pasti selesaikan kontraknya." Senyum lebar. "Oke?" And he falls down.

Pria itu seolah tersihir pada daya pikat London. Dia mengangguk-angguk lucu. Menyebabkan London ingin tebar konfeti, sukses membebaskan diri dari satu teror.

Begitu si anak marketing cabut dari situ, London mulai mengerjakan kontraknya. Belum sampai lima menit, satu teror datang.

"Kontrak sudah dibuat, Mbak London?"

Ajegila, gue susah fokus nih!

"Tunggu sebentar, kek!"

London menggigit bibir bawahnya, menyadari kesalahan paling fatal setelah melewati masa probation. Yakni, membentak supervisor divisi marketing paling gemeus-able yang ditaksir sejak hari pertama London menginjakkan kaki di kantor ini.

Mami, Elly in the trouble!

###

Cerita ini dipindah ke KBM dengan judul yang sama, London. Nama penulis Nona Chiaseed.

Oya, kalian gak dipaksa baca di sana ya 😊 bagi yang mau aja baca cerita ini dengan ending berbeda, monggo~

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Oya, kalian gak dipaksa baca di sana ya 😊 bagi yang mau aja baca cerita ini dengan ending berbeda, monggo~

LondonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang