VIVIAN

9 2 2
                                    

Oleh ArlenLangit

▪VIVIAN▪

Malam ini bulan purnama bersinar terang, cahayanya menerobos masuk melalui jendela kaca tebal di sisi kirinya. Wanita berpakaian putih membawakan makan malamnya tak akan kembali hingga matahari menyingsing. Vivian menghabiskan separuh malamnya dengan menatap pemandangan di luar. Tangan keriputnya menyentuh kaca terkena hawa dingin menyejukkan kulitnya. Bibirnya gemetar dan matanya sayu, sementara rambut hitam di kepalanya nyaris tak ada.

"Kepak elang sering terdengar, dan tenagaku tak lagi sekuat dulu untuk mengusir kematian. Tuhan selalu berkata dengan firman-Nya tapi jalang di luar lebih butuh makan menyambung nyawa." Nyanyian lirih Vivian menjadi backsound kamarnya.

"Nyanyian yang bagus, Vivian." Sebuag suara menanggapi nyanyian wanita tua di atas brankar.

Matanya menoleh pada ketukan sepatu pantofel dari sudut gelap ruangan tanpa penerang. Seseorang yang selalu mendatanginya beberapa hari belakangan, seiring dengan menyurutnya semua tenaga pemberontakan Vivian untuk keluar meyentuh rerumputan hijau setelah hujan.

"Apa di luar hujan? Apa rumputnya telah tumbuh? Seberapa tinggi?" tanya Vivian lirih.

Pria berstelan hitam itu tersenyum samar, "Hujan akan datang besok pagi. Apa kau mau berdiri di bawahnya?"

Vivian mengangguk sekali dan sangat pelan, bahkan hampir tak seperti sebuah anggukan.

"Aku mau. Hujan akan menghapus seluruh dosaku sebelum menghadap-Nya."

Pria berstelan hitam itu berdiri lebih dekat. Hingga sinar rembulan yang terang itu menempa wajahnya, rupawan, garis wajah yang tegas, kulit pucat, mata sekelam malam dan senyum arogan. Itulah yang terlihat di mata sayu Vivian malam ini, wajah tamunya yang tak pernah ia ketahui namanya.

"Jadi, besok pagi kau akan datang? Mereka akan baik padamu jika kau bawakan aku sebuah lentera, aku mau itu menerangi jalanku nanti."

"Akan kubawakan, tidurlah." Pria berstelan hitam itu berbalik sedetik usai berkata.

Vivian merebahkan dirinya, pada bantal tipis dan selimut yang tak lagi beraroma sabun cuci. Tak ada suara pintu dibuka dan menutup pada akhirnya, hanya ada desir angin menerpa dedaunan pohon Sukun dekat jendela kamarnya. Mata tuanya menutup, tak bermimpi apapun meski ia berharap sekali anaknya hadir dalam mimpinya walau sekali saja. Ia ingin meminta maaf, atas semua kesalahan semasa mudanya. Gemerlap dunia telah membutakan kedua matanya, mata hati dan mata pikiran.

Tangan dingin, itu yang dirasakan Vivian saat membuka mata. Wajah pucat pria berstelan hitam tampak jelas olehnya dengan bantuan lentera yang terang di tangannya, lentera yang indah. Rinai hujan mengetuk kaca jendela, saat tangannya memegang pegangan pada lentera. Begitu terang dan hangat sinarnya, menerangi ruangan dingin dihuni Vivian.

Tangan itu menuntunnya turun. Kaki tuanya tak gemetar lagi saat menyentuh dinginnya lantai ruangan. Pria di sebelahnya mengapit lengan Vivian, pintu ruangan terbuka dan keduanya berjalan menyusuri lorong gelap. Gelap sekali, hingga lentera itu hanya menyinari langkah kakinya saja. Pintu belakang rumah sakit itu terbuka, rintik hujan menyapu dedaunan hingga jatuh di atas rumput setinggi mata kaki.

Vivian mendesah dan tersenyum saat berada di ujung pintu. Kakinya melangkah keluar dan masih diapit oleh pria berstelan hitam. Vivian menjejakkan kakinya menyentuh rereumputan yang basah dan hujan membasahi tubuhnya. Saat berbalik, wajah muda Vivian tampak oleh pria berstelan hitam.

"Aku senang sekali ini terjadi padaku lagi!" Vivian memekik. Saat itulah jasadnya ditemukan tak bernyawa.

Jumlah kata : 500words
Id wp : @ArlenLangit

Koreksi :
Mamak Arlen tersayang penulisannya udah bener 😍 cuma ada beberapa typo, gara-gara jarinya keseleo yak? Atau kenapa? But, ceritanya penuh misteri sampe-sampe aku gak tau Vivian dibunuh sama siapa dan kenapa? 😅
➡ Sebuag ❌
➡ Sebuah ✔

➡ Rereumputan ❌
➡ Rerumputan ✔

Thanks mak udah ngerjain tugas ❣😙

ArlenLangit

Task Part 3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang