2

4.7K 137 0
                                    

Air mata ini sungguh mengganggu. Pandanganku dibuat kabur olehnya. Padahal aku ingin berlari dengan cepat agar bisa cepat sampai di rumah, tapi gara-gara air mataku yang tak mau berhenti mengalir, aku jadi hanya berlari dengan pelan, akibatnya Rendy bisa menggapai tanganku.

"Lista.. Tunggu!" katanya

Aku hanya menatapnya sekilas, lalu beralih melihat kebelakang sana dimana Dewi tengah berlari ke arahku. Aku yang sudah enggan melihat wajah perempuan itu pun langsung meronta, agar Rendy mau melepaskan tangannya, dan untungnya berhasil.

Aku lari lagi, tapi entah kenapa lari laki-laki itu selalu lebih cepat dariku, sampai-sampai kini dia sudah ada dihadapanku lagi. Wajahnya memerah, mungkin karena adegan kejar-kejaran tadi, atau mungkin karena marah. Aku tau sikapku terlalu kekanak-kanakkan. Tapi inilah aku, dan dia kan sudah berjanji kalau dia akan belajar menghadapi sikapku ini.

"Lista sayang.. Tolong dengerin aku dulu ya! Tadi itu gak seperti yang kamu pikirin. Semua ini salah paham." kata Rendy

"Gak seperti yang aku pikirin? Salah paham? Lalu apa yang sebenarnya terjadi? Aku liat kamu ngasih kado ke Dewi, sementara kamu bahkan gak inget kalau hari ini aku ulang tahun. Atau bahkan kamu juga lupa kalau hari ini peringatan hari jadi kita yang ke enam bulan"

"Aku inget! Aku inget semuanya."

"Kalau kamu inget tapi kenapa kamu begitu??" nadaku mulai meninggi, aku bisa melihat wajah Rendy yang mulai tidak suka dengan sikapku.

"Kan aku sudah bilang, ini salah paham, Lista! Kamu jangan berpikir kalau aku dan Dewi ada sesuatu. Tolong lah.. Jangan marah ya!" bujuk Rendy.

Aku tertunduk. Masih menangis. Aku sadar kalau aku yang salah, tapi tetap saja aku sakit hati dengan sikap mereka tadi.

Tiba-tiba saja Rendy memelukku. Aku terdiam seketika. Isakkan yang tadinya keras, kini perlahan menjadi pelan. Entah kenapa setiap kali ia memelukku, hatiku jadi tenang.

"Maaf Lista! Jangan marah ya! Aku cuma sayang kamu. Sekarang, ataupun nanti. Jangan jadiin hari ini sebagai hari yang buruk Ta.. Udah ya.. Jangan nangis. Aku minta maaf!" bisik Rendy sambil memelukku.

Perlahan, aku melepaskan pelukannya. Menatapnya nanar. Perasaanku sungguh campur aduk. Aku bingung harus apa. Yang bisa aku lakukan saat ini hanyalah menangis.

Sejujurnya ada jutaan kata yang ingin aku ucapkan pada Rendy. Tapi aku tidak tau bagaimana cara mengucapkannya.

"Udah lah Ren!! Aku mau pulang!"

Akhirnya, hanya satu kalimat itu yang bisa aku ucapkan.

Rendy mundur beberapa langkah, memberi jarak yang cukup jauh antara aku dengan dia.

"Ya sudah, mungkin kamu butuh waktu untuk sendiri" katanya lalu menghela nafas. Rendy mengulurkan tangannya perlahan dan lagi, kotak kecil merah muda itu ia tunjukkan.

Baru saja aku ingin meraihnya, sebuah mobil membuat semuanya sirna. Seketika tubuhku membeku ditempat. Tangan yang tadinya sudah siap menggapai tangan Rendy, kini menjadi lemas. Napasku bahkan tertahan beberapa detik, diirngi air mata yang kian deras mengalir.

"Rendy!!!"

Teriakan seorang perempuan yang sangat aku kenal tengah menyebut nama pacarku itu membuatku sadar sepenuhnya. Aku langsung berlari menghampiri Rendy. Dan lagi, aku menangis sejadi-jadinya.

Aku angkat tubuh Rendy agar berbaring diatas pahaku. Aku tatap wajahnya yang sudah pucat dengan darah yang keluar dari dahinya. Ia masih bernafas.

"Rendy, sadar! Aku minta maaf." isakku

Aku langsung menatap sekelilingku, sudah banyak orang yang berkerumun disini. Termasuk sahabatku itu.

"Tolong panggil ambulan atau kendaraan apa pun untuk ke rumah sakit. Tolong!" teriakku "tolong.. Aku gak mau kehilangan dia"

Tiba-tiba aku merasakan ada yang memegang pipiku, ternyata itu tangan Rendy. Rendy sudah sadar sekarang. Aku langsung tersenyum walau aku masih menangis. Aku genggam erat tangan Rendy yang berlumuran darah.

"Selamat ulang tahun Lista sayang! Dan selamat hari jadi kita yang ke enam bulan." ucap Rendy pelan, sangat pelan, mungkin hanya aku yang bisa mendengar suaranya.

Rendy mengangkat tangan kanannya, dan lagi-lagi Rendy menunjukkan kotak itu, aku langsung menerimanya. Aku tak mau kalau aku sampai kehilangan itu.

"Maaf"

Tiba-tiba Rendy memejamkan matanya, tangan yang tadinya ku genggam mulai lunglay. Aku menjerit. Menangis sejadi-jadinya. Aku peluk tubuh itu dengan erat. Tapi aku terlambat. Sungguh terlambat.

_____

Kamu, Penyesalan TerbesarkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang