5

5.2K 117 12
                                    

"Ya.. Itu lagu buat kamu. Karena buat aku, kamu sempurna dimataku. I love you Lista!"

Dan.. Video itu berakhir. Dan lagi, air mata itu kembali mengalir. Aku menangis. Sedih namun senang setelah mendengar semua ceritanya itu. Aku minta maaf Ren, karena selalu membuatku kesal. Tapi sesuai katamu tadi, aku menyayangimu. Sama seperti kamu. Senyum kamu itu yang selalu bikin aku inget kalau aku perlu berubah. Makanya aku sampai berusaha mati-matian supaya sikap aku berubah. Tapi nyatanya aku gak bisa. Malah sikap aku itu yang bikin kamu pergi. Aku tau, antara kamu dan Dewi itu gak mungkin ada sesuatu. Tapi karena sikap kekanakan aku itu semuanya terjadi. Andai aku gak seperti itu, kamu pasti masih disini. Aku menyesal Ren! Ajari aku bagaimana caranya untuk mengikhlaskan kamu?

Tapi sepertinya, itu sulit untuk aku lakukan. Karena sampai saat ini aku bahkan masih merutuki diriku sendiri karena semua orang mengira kalau aku yang udah bikin kamu tertabrak mobil itu. Padahal gak seperti itu. Aku tau kita memang salah karena berdebat dipinggir jalan, tapi pengendar mobil itu yang salah, dia mengantuk, makanya ia banting stir saat ia lihat ada kucing yang tiba-tiba menyebrang. Tapi orang-orang gak percaya.. Tapi gak apa-apa aku mengerti.

Aku juga yang salah, kalau saja aku lebih cepat menggapai tanganmu, mungkin kamu akan selamat Ren. Dan kamu pasti masih disini. Disamping aku dan akan mengucapkan "selamat hari jadi yang ke tujuh bulan, Lista sayang!" ah.. Tapi semuanya cuma 'andai' yang tidak akan terjadi.

Aku bangkit dari kursi meja belajarku, dan berjalan ke arah cermin. Aku tatap pantulan diriku. Seulas senyum miris tercipta. Lihat aku! Begitu menyedihkan. Rambutku acak-acakan seperti tak pernah diurus. Dan kamu tau Ren.. Sekarang aku makin kurus, bukan karena memikirkan sikap aku, tapi karena memikirkan kamu. Kantong mataku yang sudah seperti mata panda. Juga wajahku yang pucat pasi.

"Ren! Lihat aku! Kamu tega lihat aku kayak gini? Aku tau aku salah, aku tau gara-gara aku kamu pergi. Tapi apa gak bisa kamu lihat aku sekarang?!" ucapku didepan cermin. "Aku minta maaf Ren!.. Aku minta maaf.."

Tok.. Tok..

"Ca! Buka pintunya! Kamu harus makan! Kasian ibu kamu! Ayo dong Ca! Jangan marah lagi sama aku. Aku tau aku juga salah Ca! Calista!" itu suara Dewi.

Sudah sebulan ini ia selalu datang kerumahku setiap sore. Mengajakku untuk segera bangkit. Tapi aku selalu mendiamkannya, sama seperti sekarang.

"Aku tau kamu gak salah De" lirihku.

"Tapi aku yang salah! Aku ini pembunuh. Gara-gara aku Rendy pergi. Aaarrgghhhh!!!!"

Dan entah kudapat dari mana kekuatan ini, aku baru saja memukul cermin didepanku sampai pecah, dan pecahannya jatuh berkeping-keping dilantai. Seketika tubuhku meluruh ke lantai. Aku duduk dengan lemas menatap pecahan kaca itu. Aku menangis dengan keras, bahkan menjerit. Aku tidak peduli lagi suara gedoran pintu yang makin mengeras. Aku hanya terfokus pada pecahan kaca itu. Tiba-tiba saja terbesit pikiran nakal itu untuk menyusul Rendy. Dan tanpa aba-aba, tanganku bergerak menggapainya. Perlahan namun pasti, pecahan kaca itu mulai merangkak naik ke pergelangan tanganku yang satunya. Tapi sebelum pecahan kaca itu benar-benar menembus kulitku, pintu kamar terbuka lebar. Dan Dewi dengan cepat membuang kaca ditanganku, juga memelukku erat. Sangat erat.

"Jangan Ca! Jangan! Aku gak mau kehilangan kamu Ca! Cukup Rendy aja yang pergi. Kamu jangan! Aku gak mau kehilangan kedua sahabatku hanya dalam jeda waktu satu bulan. Ca! Aku minta maaf. Jangan diemin aku terus!" isak Dewi sambil terus memelukku.

Aku masih diam, lalu perlahan, aku membalas pelukannya, dan menangis sejadi-jadinya. Aku biarkan luka ditangan kananku akibat memukul kaca tadi. Yang jelas, luka dihatiku jauh lebih sakit. Dewi benar, aku sudah kehilangan Rendy, maka aku tidak boleh kehilangan sahabatku, Dewi.

Ren! Lihat! Aku sudah berbaikan dengan Dewi. Aku sudah ikhlas semuanya. Walaupun untuk mengikhlaskanmu pasti sulit sekali. Karena kamu, orang pertama yang membuat aku merasakan kehilangan yang sangat menyakitkan. Dan kamu, adalah penyesalan terbesarku. Bukan menyesal karena telah mencintaimu, tapi menyesal karena tidak bisa membuatmu terus ada disampingku.

"Ca! Ayo aku obati luka ditanganmu itu. Lalu habis itu, kita ketemu Rendy ya!" kata Dewi

Aku mengangguk, dan mengikutinya keluar kamar. Aku mengiyakan saja. Walaupun aku tau, perkataan Dewi bahwa ia akan membawaku 'bertemu' dengan Rendy, bukanlah 'bertemu' dalam artian sebenarnya.

-SELESAI-

Kamu, Penyesalan TerbesarkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang