Chapter 2 : Bahkan Seorang Dewi Sekalipun sama Liciknya.

34 2 6
                                    

Dingin. Sudah tengah hari, tapi udara masih sangat dingin sampai otot kawat tulang besiku pun bisa merasakannya.

Mulai minggu ini sang mentari tak lagi tersenyum di kala siang hari karena awan hitam selalu menutupinya. Yah mungkin karena sekarang sudah memasuki musim hujan.

Kuangkat tangan kananku lalu kutahan daguku dengannya. Kutujukan pandanganku keluar jendela lalu menatap langit yang hitam.

"Manusia itu mahkluk sosialis. Tanpa bantuan orang lain, manusia takkan bisa hidup."

Selagi aku menatap langit, guru sosiologi sedang menjelaskan materi. Di hari sabtu pelajaran sosiologi sengaja diberi di akhir jam pelajaran, karena pelajaran sosiologi itu lumayan santai. Yah, setidaknya begitu sih.

Ngomong-ngomong, setahuku itu manusia makhluk individualis lalu berubah menjadi sosialis jika mereka sedang membutuhkan sesuatu, saat mereka lupa mengerjakan PR misalnya. Mengingat sebelum jam pelajaran dimulai tadi kelasku sedikit ricuh, karena beberapa orang di kelasku lupa mengerjakan PR matematika. Alhasil, kebanyakan dari mereka membuat senyuman palsu lalu berkata "Hey, kita ini teman kan? Jadi bisakah aku melihat PR matematikamu? Hehe." kepada orang yang mengerjakan PR.

Yah, mungkin aku setuju dengan pendapat Sokrates bahwa manusia itu adalah makhluk hidup berkaki dua yang tidak berbulu dengan kuku datar dan lebar.

******

Bel pun berbunyi menandakan jam pelajaran berakhir dan dengan sigapnya aku langsung memasukkan semua bukuku ke dalam tas lalu beranjak pergi meninggalkan kelas karena aku takut sepulang nanti aku kehujanan. Lebih tepatnya sih, karena takut novel ringan yang baru kubeli kemarin basah terkena hujan.

"Hey, Ivan."

Orang yang memanggilku barusan ialah bu Luna yang sedang berdiri di depan ruang BK dan melambai-lambaikan tangannya ke arahku.

"Sudah mau pulang nih?" Tanyanya.

"Disaat pahlawan sudah membereskan semua masalah, disaat itulah dia harus segera kembali ke markasnya." Kujawab.

Mendengar jawabanku yang barusan, bu Luna langsung berhenti tersenyum.

"Oh, jadi jam belajar itu sebuah masalah bagimu? Justru kepribadianmu itulah yang masalah."

Setelah itu bu Luna menghela nafas dengan dalam karena melihat ekspresi datarku.

"Jika ibu hanya ingin menghina kepribadian saya, saya pulang nih."

Setelah itu, aku melangkahkan kakiku hingga melewati bu Luna. Ketika aku baru melangkah sebanyak 4 kali, tiba-tiba ada sebuah angin melesat cepat melewati telinga kananku. Tidak, itu bukan angin melainkan sebuah pena yang melesat cepat.

"Jangan seenaknya pergi begitu saja!!!"

Ketika aku melihat bu Luna, dia terlihat marah sampai-sampai dia hampir berubah menjadi super saiyan. Terlebih lagi, apa dia selalu membawa pena kemana saja? Apa dia ini rentenir? Kalau iya, tolong jangan tagih hutangku sekarang karena aku masih belum membeli item game yang dijual terbatas!!!

"Umm, maaf bu." Aku menundukkan kepalaku sebagai tanda permintaan maafku.

"Apakah ada hal yang penting bu? Sampai-sampai ibu barusan marah dan hampir berubah menjadi super saiyan."

Walaupun dia sangat marah barusan, tetap saja aku masih melontarkan sebuah lelucon karena aku tahu reaksinya selanjutnya.

"Hahaha untung saja barusan aku tidak mengeluarkan super kamekameha-Ku."

Kedua tangan bu Luna berada di pinggul dan dengan gagahnya dia berlagak seperti orang yang sangat kuat. Hmm, reaksi yang tepat seperti yang kuharapkan dari seorang guru otaku akut.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 01, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Masa Remajaku yang Pahit-Pahit ManisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang