Mel's POV
Tidak banyak yang terjadi setelah itu. Hanya rutinitas belajar seperti biasa. Mel tetap diam-diam mencuri pandang ke arah kelas Elang saat jam istirahat, berharap bisa melihat dia sekilas. Itu sudah cukup baginya.
Menjadi sahabat seseorang yang sangat cantik, tentu mempunyai resiko didekati banyak anak laki-laki yang meminta bantuannya untuk dapat mendekati Di. Ini terjadi sejak SMP dulu dan tampaknya tidak akan berubah sekarang. Mel sudah terbiasa. Telepon di rumahnya selalu berdering dari penggemar Di yang mengira bahwa mendekati Mel bisa membuat jalan mereka menuju Di menjadi lebih mulus.
"Ya jangan diterima dong, telepon dari mereka itu!" Di mencubit dengan gemas, sewaktu Mel mengeluh dia lama-lama terganggu oleh kelakuan para penggemarnya.
Mel memutar bola mata, kesal. Mudah saja Di menyarankan hal itu, dia tidak tahu prakteknya bagaimana. Karena sering kali Mel sendiri yang mengangkat pesawat telepon. Sulit untuk berbohong menyebutkan bahwa Mel tidak ada di tempat, setelah suaranya kadung di dengar sang penelepon.
"Ayolah, Di ...." lenguh Mel, tangannya terulur mengambil bolu marmer hangat yang disuguhkan pembantu di rumah Di. Kemudian menggigit dan mengunyah dengan takzim, mengagumi kemampuan memasak sang pembantu tadi. Di mengangkat alis, menanti kelanjutan kalimatnya.
Mel mengangkat tangan tanda tunggu, lalu menelan sebelum berkata lagi, "Boleh ya aku kasi nomor telepon rumah kamu? Di sini kan bisa Bibi yang angkat telepon dan bilang kamu ga ada. Lagipula, gimana bisa mereka berhasil dapet nomor telepon rumah aku, sementara nomor telepon rumah kamu ga terlacak?"
"Aku ga nulis nomor telepon rumah di biodata sekolah," kata Di acuh sambil mengangkat bahu. Mel berdecak kesal. Cerdas juga.
***
Waktu cepat berlalu. Setahun tak terasa. Mereka naik ke kelas dua. Kali ini Mel dan Di berbeda kelas. Keberuntungan mereka untuk selalu satu kelas rupanya tidak terjadi di tahun ini.
Pagi yang sangat dingin. Sudah musim kemarau. Menjelang subuh sampai sekitar pukul sepuluh pagi suhu selalu rendah. Lalu menjelang siang hingga petang matahari akan bersinar sedemikian cemerlang sehingga dingin tak bersisa lagi.
Setelah liburan panjang, kebanyakan anak merasa hari pertama sekolah sangat menyulitkan. Begitu juga Mel yang berjalan terkantuk-kantuk melewati gerbang. Asyik memikirkan bahwa hari pertama sekolah biasanya hanya setengah hari saja, sehingga dia bisa melanjutkan tidur sepulang sekolah nanti.
"Kelas kita sebelahan!!" seseorang tiba-tiba memeluk Mel kuat-kuat dari belakang. Mel tahu siapa dia bahkan sebelum menoleh.
Di tertawa renyah dengan wajah berseri. Tak tampak sedikitpun kantuk dan kuyu seperti kebanyakan anak-anak lain.
Semakin besar Di semakin cantik. Semakin banyak lelaki yang menyukai dia dan mencoba mendekati Di lewat Mel, seperti yang terjadi di SMP dulu. Namun Di tampaknya belum tertarik pada siapapun.
"Nah kan? Gapapa lah kita beda kelas. Kan ga mungkin juga kita sekelas terus. Lama-lama kita bisa kayak kembar siam. Lengket!" kata Mel sambil menerima kantung kertas kecil dari tangan Di. Isinya oleh-oleh dari liburan panjang Di di luar negeri kemarin. Berucap terimakasih dan memeluk Di dengan erat, mereka melanjutkan perjalanan menuju kelas Mel.
"Kita memang kembar siam, di dunia ruh sebelum dunia ini. Makanya lengket."
"Jijik tau, yang lengket-lengket itu identik sama ingus upil dan sebangsanya," Mel tergelak.
"Eeewh!! Meel, kamu jorook ...!"
"Hahaha ...! Kan kamu yang ngajarin, Di ...."Mereka berhenti di depan kelas Mel. Lalu melongok malu-malu. Mengedarkan pandangan menilai situasi.
Mata Mel langsung melihatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Petrichor (the scent of rain on dry earth)
Teen FictionSome people said that first love never dies. Mungkin itulah yang Mel rasakan terhadap Elang, lelaki yang pertama kali menyentuh bagian terdalam hatinya di masa remaja. Sayangnya, Elang adalah lelaki yang juga dicintai Di, sahabat terkarib Mel yang...