Mel's POV
Duapuluh tahun kemudian, FIFA World Cup diadakan di Brazil dan dimenangkan Jerman setelah melawan Argentina dengan skor 1-0. Lagu 'Happy' yang dinyanyikan Pharrel Williams tengah merajai chart Billboard, film Transformer : Age of Extinction menjadi film terlaris tahun ini.
Mel melirik telepon selularnya, ada pesan masuk dari Di yang menanyakan apakah boleh membawa Zaid untuk berenang dengan Danish akhir pekan ini. Zaid adalah anak kedua Mel yang sebaya dengan Danish, dan Danish adalah anak pertama Di. Setelah mengetik 'Oke' dan menekan tombol kirim, Mel menoleh pada Yusuf, si sulung yang jangkungnya sudah sekepala lebih tinggi darinya.
"Sudah selesai, Bang?"
"Belum Ma, masih harus cek daftar kelas dulu supaya pas masuk nanti tau dapet kelas mana, terus mau milih ekskul," jawab Yusuf, "kalau mau Mama tunggu di mobil aja supaya bisa ngadem, nanti Abang susul ya," lanjutnya.Mel menyetujui usul anaknya. Yusuf berpamitan lalu menyusul teman-temannya. Mel mengawasi sejenak sebelum berbalik berjalan menuju parkiran.
Setibanya di dekat mobil, Mel malah memandangi bangunan sekolah yang akan menjadi sekolah baru anaknya. Yusuf tahun ini masuk SMA. Dia termasuk anak yang cerdas. Mudah baginya menembus masuk SMA favorit ini, tidak seperti Mel yang memasukinya dengan nilai minimal saja, bertahun-tahun lalu.
Di antusias sekali mengetahui Yusuf akan memasuki SMA almamater mereka. Sampai-sampai menghadiahi Yusuf sebuah gitar yang sudah lama diidam-idamkan anak laki-laki itu.
Ada perasaan haru memandangi bangunan yang walau sudah banyak berubah dan mengalami renovasi, tapi sekolah ini membawa nostalgia tersendiri bagi Mel. Tanpa bisa dicegah sebuah nama muncul di benaknya : Elang.
Elang yang menghilang setelah perpisahan sekolah. Belakangan Mel mendengar bahwa dia langsung pindah ke Surabaya, sehari setelah perpisahan sekolah, ikut boyongan dengan keluarga karena ayahnya dipindahtugaskan di sana. Kenapa Elang tidak pernah menyebut-nyebut mengenai hal ini baik kepada Di atau Mel, Mel kira itu akan tetap menjadi misteri.
Elang bahkan tidak ditemukan ketika era media sosial makin hiruk pikuk menghubungkan seluruh dunia. Elang menghilangkan diri, seperti ditelan bumi.
Mel mengurungkan niatnya untuk memasuki mobil dan menikmati sejuknya pendingin udara, walau itu tindakan yang masuk akal di udara seterik ini. Udara terik yang biasa terjadi sebelum hujan turun. Mel malah memilih melewati gerbang, keluar dari lingkungan sekolah.
Berusaha tetap di area teduh, Mel berjalan mengitari tembok benteng sekolah. Menuju sudut terjauh, tempat dia dan Elang melakukan petualangan kecil berpuluh tahun lalu.
Hanya ingin mengenang sedikit tentang masa muda yang sempat haru biru, menyenangkan hati, mengaduk emosi.
Ternyata ada seseorang yang terlebih dahulu di sana. Mel merasa canggung dan malu, menyadari bahwa akan terlihat sebagai situasi yang mencurigakan ketika seorang wanita paruh baya mengendap-endap di belakang tembok benteng sekolah. Mel menghentikan langkah dan membalikkan badan untuk kembali ke parkiran, ketika sesuatu memberitahunya untuk sekali lagi memandang orang yang tengah berdiri mendongak menatap ujung tembok benteng.
Sekali lagi, hidup mempunyai banyak persediaan kejutan bagi yang menjalaninya.
Sedikit lebih berisi, dengan kulit lebih cerah, penampilan yang lebih rapi dan gagah. Lebih dewasa. Tapi air mukanya yang tak terbaca tetap sama. Sorot matanya yang serius masih dikenalnya.
Lelaki itu menoleh menyadari ada orang lain selain dirinya. Dan sorot matanya langsung tampak dia mengenali Mel. Mensahkan keyakinan kuat Mel bahwa dia adalah orang yang Mel duga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Petrichor (the scent of rain on dry earth)
Teen FictionSome people said that first love never dies. Mungkin itulah yang Mel rasakan terhadap Elang, lelaki yang pertama kali menyentuh bagian terdalam hatinya di masa remaja. Sayangnya, Elang adalah lelaki yang juga dicintai Di, sahabat terkarib Mel yang...