Prolog

898 12 3
                                    

Aku menatap ke luar jendela. Jalanan di luar sana basah diguyur hujan. Sama halnya dengan keadaan mataku sekarang ini; basah. Akhir-akhir ini memang hujan sering sekali singgah ke bumi. Sama seperti air mata yang akhir-akhir ini juga sering singgah di pipiku.

Haha, iya, aku mempunyai kebiasaan menghabiskan waktu 20 menit dalam sehari untuk sekedar menangis saat ini.

Cengeng. Begitu yang selalu dikatakan Davel kalau aku tertangkap basah olehnya sedang menangis.

Aku nggak peduli mau dibilang cengeng, atau kekanak-kanakan, atau bodoh, atau apapun. Yang penting, aku cuma ingin nangis. I think it explains every sadness things that I feel, when words alone can't.

Jadi jangan salahkan aku kalau aku suka—bahkan hob—imenangis. Salahkan saja dia. Dia yang membuat semuanya berubah. Dia pikir dia siapa? Dengan seenaknya datang, lalu tinggal, dan kemudian pergi seperti angin.

Oh, sudahlah. Jangan bahas dia. Nggak akan ada gunanya, sebab dia hanyalah seseorang yang datang untuk dilupakan.

Aku memandang ke seluruh penjuru kamarku. Tisu-tisu bekas air mata dan ingus tergeletak dimana-mana. Entah sudah berapa helai tisu yang aku habiskan. Ah, aku tak peduli.

Aku menghapus sisa-sisa air mata yang masih mengalir dengan selembar tisu terakhir yang ada di kotak tisu. Dan bersamaan dengan itu, pintu kamarku terbuka.

Begitu melihat tubuh tinggi tegap itu, aku tahu apa yang akan dikatakannya setelah ini.

"Cengeng."

Ya, itu Davel.

-

a/n

hai! abal nic, maaf ya. okedeh, vomments ditunggu! terimakasih!

MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang