1

402 12 5
                                    

a/n

ceritanya beberapa tulisan yang dicetak miring itu lagi flashback ya hehe. ok, selamat membaca! 

-

"Ma, aku mau pulang ke Indonesia."

"Kamu udah hampir delapan tahun di sini, dan kamu kayaknya enjoy-enjoy aja di sini. Kenapa tiba-tiba kamu mau pulang, Nak?"

"Aku bosen di sini."

"Tapi Papa masih ada tugas di sini, Sayang."

"Aku pulang sendiri aja."

"Kamu yakin mau pulang sendiri?"

"Yakin seyakin yakinnya, Mama sayangg."

"Oke kalo mau kamu begitu. Kapan kamu mau pulang ke Indonesia?"

"Besok, boleh?"

"Kenapa buru-buru banget sih, Nak?"

"Aku kan udah bilang kalo aku bosen, Maa."

"Kalo nanti kamu udah di Indonesia, terus Mama kangen, gimana?"

"Kan bisa telfon, bisa skype-an, bisa bbm-an, iyakan?"

"Ah terserah kamu lah."

"Pokoknya besok aku udah take off ke Indonesia, ya?"

"Aduh anak Mama udah gede ya, banyak maunya."

"Aku cuma mau pulang ke Indonesia, Ma..."

"Yaudah oke. Tapi nanti kamu di sana tinggal sama siapa?"'

"Mmm, yang pasti jangan sama Nenek, ya. Nenek sama Kakek biarin aja menikmati waktu bersama hehe, aku takut ganggu, mereka kan lagi soswit-soswitan."

"Loh terus kamu tinggal sama siapa, Sayang?"

"Mmm, Tante Freda?"

"Tante Freda sekeluarga kan lagi di Paris."

"Tante Fia?"

"Tante Fia kan baru aja punya dedek bayi. Pasti Tante Fia sama Om Fio lagi sibuk-sibuknya ngurusin dedek bayi mereka."

"Hm yaudah, kalo gitu aku tinggal sendiri aja di apartemen Papa."

"Ish anak Mama nekat banget, sih. Kalo kamu sendiri terus kenapa-napa nanti gimana?"

"Kalo ada apa-apa kan aku tinggal telfon Mama, hehe."

"Ih kamu ini, ya. Pokoknya kalo kamu tinggal sendiri Mama nggak akan ngizinin kamu ke Indonesia."

"Yah Mamaa. Yaudah, terserah Mama deh. Aku tinggal sama siapa aja mau, kok, yang penting ke Indonesia."

"Mmm, kalo tinggal sama keluarga sahabat kuliah Mama, mau? Kebetulan sahabat Mama itu baru pindah sekeluarga dari Bandung ke Jakarta, dan kebetulan juga mereka pindahnya ke rumah di sebelah rumah kita."

"Mau mau! Bagus dong kalo gitu, jadi kan deket sama rumah kita. Nanti aku bisa ajak anaknya sahabat Mama itu buat nginep di rumah, dehBy the way, nama sahabat Mama itu siapa?"

"Tante Dinda namanya. Dia baik kok, baik banget. Mama jadinya nggak khawatir kalo kamu dirawat sama Tante Dinda."

"Yaudah yaudah aku tinggal sama Tante Dinda aja!"

"Iya, oke. Terus, nanti kamu sekolahnya bareng anaknya Tante Dinda aja, mau?"

"Mau mau aja aku, sih. Emangnya dia kelas berapa? Terus namanya siapa?"

"Dia seumuran sama kamu. Enam belas tahun, kelas sebelas. Namanya... Dav... Dav siapa ya? Oh iya, namanya Davel!"

"Cowok?"

"Iya."

"Ganteng?"

"Ganteng bangettt. Eh tapi bagi Mama sih tetep gantengan Papa kamu, hehe."

"Yadeh terserah Mama aja. Berarti besok aku udah boleh pulang ke Indonesia kan, Ma?"

"Hm iya, boleh. Tapi kamu serius nggak mau di sini aja dulu? Papa tinggal dua tahun kok kerja di sini. Nanti kalo tugas Papa udah selesai, kita pulang sama-sama ke Indonesia."

"Ma, please, ya. Aku kangen Indonesia, Ma. Di Amerika aku jarang banget ketemu temen dari Indonesia yang seusia sama aku. Aku kangen bergaul sama anak-anak Indonesia lagi."

"Loh, Davo pacar kamu itu bukannya dari Indonesia juga?"

"Dia udah bukan pacar aku ih. Udahlah nggak usah bahas dia."

"Oh jadi anak Mama lagi patah hati, ya?"

"Apaan sih, enggak kok ih."

"Padahal menurut Mama, Davo anak baik-baik, loh."

"Ma, please, jangan sebut nama dia lagi."

"Oke, oke. Aduh tapi anak Mama jangan ngambek, dongg."

"Nggak ngambek ih. Pokoknya, besok aku take off ke Indonesia, oke Ma?"

"Iya oke, Sayang. Nanti Mama bicarain dulu sama Papa, nanti Mama bujuk-bujuk Papa deh pokoknya. Tapi kamu hati-hati ya di sana. Terus juga kalo Mama telfon, kamu langsung angkat, oke?"

"Oke, Ma, okee."

*

Huh. Aku menghembuskan nafasku dengan berat. 

Masih terekam jelas oleh otakku mengenai percakapanku dengan Mama tiga bulan yang lalu. Saat waktu itu aku sangat ingin pulang ke tanah air. Malam itu juga Mama berdiskusi dengan Papa tentang keinginanku tersebut. Dan ya, akhirnya aku mengantongi izin dari Papa, meski harus melewati interogasi yang panjang terlebih dahulu.

Sekarang, aku sudah di Indonesia. Sudah tiga bulan aku di sini. Seperti yang telah disepakati dengan Mama dan Papa, aku tinggal di rumah Tante Dinda. Beliau sangatlah baik, benar apa kata Mama. Aku juga sudah mulai bersekolah di sini, di sekolah yang sama dengan Davel. Aku sudah cukup akrab dengan Davel. Dia baik, bahkan sangat baik. Dan Mama lagi-lagi benar, aku nggak bisa memungkiri kalau Davel ternyata memang... ehm... ganteng.

Aku sangat senang bisa menginjakkan kaki lagi di tanah air tercinta ini. Aku bahkan memaksa Davel untuk mengantarku berkeliling Jakarta sepuasnya, dan dia dengan baiknya bersedia menuruti paksaanku.

Satu dan dua bulan pertama yang aku lewati di Indonesia terasa sangat menyenangkan. Tapi memasuki bulan ketiga ini, entahlah, tiba-tiba semuanya berubah. Tiba-tiba, aku justru ingin kembali lagi ke Amerika.

Ini semua karena dia.

Dia.

Iya, dia.

Dia yang membuat aku ingin secepatnya meninggalkan Amerika sewaktu dulu. Dan dia juga yang membuat aku ingin secepatnya kembali ke Amerika saat ini. 

Dia. Aku nggak nyangka kalau ternyata cuma dia yang bisa membuatku selabil ini.

Dan yang lebih nggak aku sangka adalah... dia saat ini di hadapanku. Di depanku, dengan jarak kurang dari tiga puluh senti.

Mimpi apa aku semalam?

MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang