4

284 10 1
                                    

"Kalo mau cerita, cerita aja kali."

Dan suara Davel barusan sukses membuatku berpihak sepenuhnya kepada hatiku sendiri. Oke, mungkin memang nggak ada salahnya sekali-kali curhat sama Davel.

Iya, kan?

Hm, iya. Mungkin.

*

Sedetik lalu baru saja aku menyelesaikan acara curhatku pada Davel.

Niat awal yang hanya akan curhat 'sedikit' tidak terlaksana dengan baik. Aku justru melakukan sebaliknya; curhat panjang lebar.

Ya, aku menceritakan semua yang aku ingin ceritakan. Semuanya. Sedetail-detailnya. Mulai dari awal bagaimana aku mengenal dia, lalu masalahku dengan dia, dan semuanya, hingga aku menceritakan pertemuanku dengan dia yang tidak sengaja terjadi tadi itu.

Reaksi Davel saat aku menceritakan semuanya terlihat datar. Dia tampak terlihat bosan? Atau apa ya? Entahlah, aku nggak bisa begitu menebak.

"Cie ketemu lagi sama mantan. Jodoh kali tuh." Itu merupakan kalimat pertama yang dilontarkan oleh Davel. Telingaku jadi agak sensitif saat menyentuh kata 'mantan' pada kalimat Davel.

Ah, kenapa juga di dunia ini harus ada yang namanya mantan?

Oh tidak. Mungkin pertanyaan yang lebih tepat adalah: kenapa juga aku bisa mengenal manusia seperti dia? Dan kenapa juga bisa-bisanya aku pernah menjalin hubungan yang lebih dari teman dengan dia?

"Jangan ngaco. Gue nggak mau jodoh sama orang ngeselin."

"Ngeselin-ngeselin gitu juga lo pernah kan sama dia. Siapa tadi tuh nama mantan lo? Da... da... siapa? Gue lupa nih."

"Auah."

"Ih seriusan gue lupa. Siapa namanya?"

"Gue males nyebut nama dia please."

"You don't have to."

"Good then."

"Soalnya gue udah inget. Davo, kan? Iya, kan?"

"Ah gue juga males denger namanya."

"Nama mantan sendiri kok nggak mau didenger."

"Ya enggak lah."

"Yaudah bibirnya nggak usah maju gitu dong."

"Siapa juga yang bibirnya maju ye."

"Lo."

"Ih kok gue nyesel ya curhat sama lo."

"Gue juga nyesel ngebiarin lo curhat. Tau deh ya, mood gue langsung nggak bagus aja gitu dengerin curhatan lo tentang 'mantan' lo itu."

Kepalaku spontan berputar sembilan puluh derajat untuk menatap Davel. "Kenapa?"

Davel angkat bahu. Kemudian Ia tiba-tiba beranjak dari duduknya. "Udah yuk, mending tidur. Udah malem, nih."

Aku baru teringat bahwa sekarang malam sudah larut. Ternyata aku curhat cukup banyak juga ya tadi, sampai kira-kira menghabiskan waktu kurang lebih 45 menit lamanya. Pantas Davel terlihat bosan. Eh, tapi setahuku dia pendengar yang baik dan nggak mudah bosan.

Apa iya benar Ia terlihat bosan mendengarkan karena topik curhatanku yang membahas tentang Davo?

Iya, bisa jadi, sih.

Aku saja bosan kalau mengingat Davo.

It means I have to forget Davo soonBut the fact says that I can't.

Oke, jangan bahas itu lagi. Lebih baik aku tidur sekarang.

***

Aku terbangun bersamaan dengan alarmku yang dengan kurang ajarnya berdering tepat di sebelah telingaku. Siapa juga yang meletakan alarm tepat di posisi itu? Ah, pasti Davel. Dia pasti tau kalau aku tidur larut pasti aku akan telat bangun.

Ya Tuhan, I just have about three hours to sleep last night.

Tapi ini hari Senin. Yang artinya akan ada upacara nanti. Yang artinya juga akan ada hukuman semacam 'telat berbanding lurus dengan tidak boleh mengikuti empat jam pelajaran setelah upacara'.

Sebenarnya justru enak kalau tidak perlu mengikuti empat jam pelajaran pertama setelah upacara. Tapi kalau empat jam itu harus digunakan untuk membersihkan toilet plus koridor lantai satu sampai empat ya... enggak deh.

"AYO KYLA CEPETAN MANDI NANTI TELAT."

"IYA BAWEL AH."

Karena tidak mau mencari masalah, aku pun mengikuti perintah Davel untuk mandi.

**

"Nanti katanya di sekolah bakal ada perwakilan dari sekolah di Amerika yang sederajat sama SMA di Indonesia gitu. Dan kalo nggak salah sekolah itu sekolah lo dulu pas di Amerika. Katanya ketos sih mereka dikirim ke sini buat belajar budaya Indonesia, sekalian sharing kebudayaan mereka juga gitu deh," cerita Davel saat sedang dalam perjalanan menuju sekolah.

"Iya Kyla, Tante juga udah denger kabar itu dari orangtua temennya Davel. Dan katanya juga perwakilan dari sana salah satunya ada yang orang Indonesia asli. Kamu kenalan tuh sama dia, kan asik punya temen setanah air yang sama-sama pernah sekolah di luar. Siapa tau dia cowok ganteng, iya kan?" ujar Tante Dinda yang ikut nimbrung perkataan Davel. Beliau yang duduk di depan, tepatnya di sebelah Pak Adhi—bapak supir keluarga Davel—menengok ke arah aku dan Davel sambil memperlihatkan sejenis senyuman menggoda.

Entahlah, aku tak begitu peduli terhadap jenis senyuman apa yang diberikan Tante Dinda. Yang aku pedulikan hanya sepenggal kalimat yang beliau lontarkan;

'katanya juga perwakilan dari sana salah satunya ada yang orang Indonesia asli.'

Otakku refleks membayangkan sosok seorang Davo.

Karena setahuku memang hanya dia yang berdarah asli Indonesia di SMA-ku dulu di Amerika.

Apa iya benar Davo yang menjadi salah satu perwakilan itu di sekolahku?

Kalau iya, haruskah aku bertemu lagi dengan sosok seorang Davo?

Ya ampun, kenapa rasanya susah sekali lari dari bayang-bayang seorang Davo?

Dan,

kenapa pula hidupku jadi drama begini?

-

a/n

sekian lama tidak melanjutkan cerita ini huh. maafkan atas kependekan chapter ini ya:') vomments ditunggu!

MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang