Baru saja aku dan Davel menginjakkan kaki kami memasuki gerbang sekolah, tapi ada saja kejadian yang membuatku serasa benar-benar berada dalam sinetron.
Entah berapa detik yang lalu kurasakan sebuah tangan menggenggam tangan kiriku, entah berapa detik yang lalu aku membalik secara refleks tubuhku, dan sekarang entah sudah berapa detik mataku bertemu tepat dengan mata itu. Mata itu, mata miliknya.
Aku sedang tidak terlibat dalam syuting sebuah sinetron, kan?
Aku mendengus.
Kenapa pula aku harus bertemu Davo lagi?
"Hai," suara itu kembali menyapaku.
Aku harus apa?
"Kyla? Lo kenal dia?" suara Davel terdengar aneh.
Aku bingung harus apa.
Maka keputusan yang kuambil adalah menarik tangan Davel dan melangkah menjauhi sosok Davo.
"Lo kenal orang tadi?" Davel kembali mengulang pertanyaannya saat kami sudah berjarak cukup jauh dari gerbang sekolah.
Aku hanya mengangguk.
"Dia siapa?" tanya Davel.
"Davo."
"Serius?"
"Hm."
"Lah ganteng amat mantanlu."
Aku menolehkan kepalaku pada Davel. Heran.
"Apaansi ih harusnya lo nanya 'kok dia bisa ada di sini' terus nanti gue jawab 'ya mana gue tau' terus lo jawab lagi deh 'wah jodoh kali' gitu," ucapanku terdengar melantur.
"Wah masih ngarepin mantan nih ya," ujar Davel dengan nada meledek.
"Apaansi ah udah bye." Aku langsung memasuki kelasku yang terletak bertepatan di sebelah tangga tanpa memperdulikan Davel yang tampak masih ingin membalas ucapanku.
*
Aku masih merasa nggak tenang hingga sekarang. Davo berada di sini, di sekolahku. Fakta tersebut terus terngiang di telingaku.
Pak Rudi sudah menjelaskan materi sejak satu jam yang lalu, namun otakku tak bisa menangkap satupun perkataannya.
"Tiga puluh menit sebelum pelajaran saya berakhir, saya akan mengadakan ujian. Dua puluh soal pilihan ganda tentang materi yang baru saja saya sampaikan. Ada yang kurang paham tentang materi ini?"
Sial.
Aku nggak mengerti sama sekali, dan nanti diadakan ulangan?
Let's say hi to remedial.
"Kyl, lo paham gak sih dia daritadi ngejelasin apa aja?" bisik Mita yang notabenenya adalah teman sebangkuku.
"Nggak. Sama sekali. Lo ngerti emang?" jawabku balas berbisik.
"Nggak, dong. Udahlah, gue siap remed, kok." Balas Mita.
Sebelum aku sempat membalas perkataan Mita, suara interkom terlebih dahulu memenuhi antero sekolah.
"Mohon perhatiannya kepada Bapak dan Ibu guru pengajar pelajaran pertama, diharapkan untuk segera menuntaskan materi untuk hari ini. Dan untuk siswa-siswi kelas 10 sampai 12, diharapkan dapat menghadiri acara sharing kebudayaan di ruang multimedia yang akan dimulai 30 menit sebelum bel pergantian pelajaran. Terimakasih."
Aku dan Mita saling tatap. Dan kami tau arti tatapan kami masing-masing.
ULANGAN DITUNDA!
Tampaknya aku harus sangat berterimakasih pada acara sharing kebudayaan ini. Selain ulangan hari ini ditunda, biasanya kalau ada acara semacam ini, siswa-siswi di sekolah ini akan mendapat kebahagian dunia, yaitu; freeclass!
Tapi................ kalau aku mengikuti acara itu, berarti aku harus bertemu lagi dengan Davo, kan? Ya ampun, kenapa juga sih harus Davo yang hadir di acara itu.
Sebenarnya, aku belum seratus persen yakin kalau Davo adalah salah satu perwakilan dari Amerika untuk acara sharing kebudayaan itu. Tapi kalau bukan untuk acara itu, lalu untuk apa dia ada di sini?
Ah, entahlah.
Intinya, aku nggak akan sudi untuk pergi ke ruang multimedia.
Lebih baik aku ke perpustakaan. Aku bisa tidur di sana, kan?
*
Suara interkom kembali membaur di antero sekolah, mengingatkan kepada Bapak-Ibu guru untuk menyudahi kegiatan belajar-mengajar dan mengingatkan kepada siswa-siswi di sini untuk segera memasuki ruang multimedia.
"Lo mau ke mulmed atau gimana?" tanya Mita saat kami sedang membereskan alat tulis kami masing-masing.
"Kayaknya gue mau ke perpus aja deh," jawabku.
"Ih kenapa nggak ke mulmed aja? Kan perwakilan-perwakilan dari Amerika itu banyak yang cogan."
"Hm, gue males."
"Yaudah deh, gue duluan yaa," ucap Mita setelah ia selesai membereskan alat tulisnya.
Sekarang Mita sudah meninggalkan kelas. Dan sekarang tinggal aku sendiri di kelas. Tiba-tiba rasanya malas sekali untuk sekedar melangkahkan kaki keluar kelas. Ah, lebih baik aku di kelas saja.
Tepat saat aku sedang mengeluarkan handphone-ku, sosok Davel muncul di ambang pintu. Lalu, 2 detik kemudian, suaranya menyapa telingaku.
"Hai Kyla," ucapnya berbasa-basi.
"Hai. Lo nggak ke mulmed?"
"Nggak."
"Kenapa?"
"Karena gue tau lo pasti nggak bakal ke sana," kata Davel sambil mendudukkan tubuhnya di bangku sebelahku—bangku Mita.
"Oh gitu."
"Ke kelas gue aja, yuk. Di sini nggak asik."
"Nggak ah, males."
"Yaudah, kantin aja yuk."
"Males juga."
"Perpus?"
"Mau sih, tapi males jalan ke sananya."
Detik selanjutnya, kurasakan tubuhku terangkat.
"DAVEL TURUNIN."
"Katanya lo males jalan, yaudah gue gendong."
"IH YAUDAH GUE BISA JALAN SENDIRI."
"Nggak ah, nggak bisa."
"ISH. CEPET TURUNIN."
Alih-alih mendengarkanku, Davel justru terus melangkahkan kakinya menuju perpustakaan dengan kondisi aku yang masih berada dalam gendongannya.
Kalian tau rasanya malu nggak, sih?
Ya ampun, untuk nggak ada orang sama sekali sepanjang koridor ini.
...entahlah, tapi rasanya agak aneh diperlakukan oleh Davel seperti ini.
-
a/n
HA UDAH LAMA SEKALI GA NGELANJUTIN CERITA INI. MAAF INI CHAPTER GAJELAS BANGET. MAAF YA. ok, vomments jangan lupa!
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories
Teen Fiction❝Memories are memories. They need to be remembered. Though sometimes, they make you wanna forget themselves.❞ [slow update] Copyright © 2014 by Utaamii