2

330 13 1
                                    

Dia saat ini di hadapanku. Di depanku, dengan jarak kurang dari tiga puluh senti.

Mimpi apa aku semalam?

Ya ampun, ini gila.

Aku bahkan berusaha mati-matian untuk menjaga jarak darinya dengan pergi dari Amerika, tapi... kenapa dia ada di sini juga?

Nafasku entah dimana saat ini. Ah, selalu seperti ini. Selalu berlebihan efeknya terhadap apapun yang menyangkut dengan dia.

Tiga puluh senti jarak yang memisah diantara kami. Dia di hadapanku. Dia diam. Tapi seolah matanya berbicara, yang aku sendiri nggak bisa mengerti apa yang diucapkan oleh tatapan mata cokelat tersebut.

Orang-orang berlalu-lalang di antara kami. Menatap dengan risih kepada kami karena posisi kami yang sedikit menghalangi jalan. 

Oke, aku nggak mau menghabiskan waktu dengan ini. Aku mengambil oksigen sebanyak-banyaknya, mencoba rileks, lalu setelah itu berjalan melaluinya. Aku mencoba melangkah dengan tenang, tapi yang kudapatkan justru langkah yang terasa canggung.

Tepat saat aku melangkahkan kaki untuk yang keempat kalinya, suara dia sampai di telingaku.

"Kyla?"

Suaranya membuatku diam. Aku ingin menoleh, tapi kuurungkan niat tersebut.

"Kamu Kyla, kan?" entah sejak kapan suara itu sudah berpindah tepat ke sebelah telingaku. Kali ini aku menoleh, tapi aku tidak menjawab sama sekali pertanyaannya.

"Kamu... di sini?" tanyanya lagi. Aku rasa seharusnya aku yang bertanya demikian.

Kekesalanku yang makin memuncak kini membuatku tidak peduli lagi dengannya. Tanpa berpikir panjang, aku segera melangkahkan kaki ketempat seharusnya aku berada saat ini. Davel pasti sudah menungguku agak lama.

Aku berjalan, menyusuri meja-meja di fast food restaurant ini dan mencari keberadaan meja nomor 102. Pada sepuluh langkah pertama tadi masih bisa kurasakan langkah dia yang mengikutiku, tapi sekarang entahlah, aku rasa dia sudah pergi entah kemana, dan aku sama sekali tidak peduli atau tepatnya enggan peduli.

Setelah agak lama menyusuri tempat yang cukup luas ini, akhirnya aku menemukan keberadaan meja nomor 102, meja Davel.

"Hei," sapaku sambil menarik bangku di hadapannya, kemudian duduk.

"Hei," jawabnya dengan sebuah senyum simpul.

"Sorry lama."

"Iya gapapa, selo aja kali."

Aku memperhatikan Davel dengan seksama. Mata Davel lekat dengan ponsel di tangannya.

"Aduh sibuk banget bang sama hapenya," sindirku.

"Aduh bawel deh, Mama bbm nih."

"Oh Tante Dinda, kirain pacarnya."

"Apansi, jaman banget punya pacar."

"Dih."

"Dih juga."

"Ih, langsung pulang aja yuk, mau ngapain dulu di sini?"

"Sebentar, tunggu pesenan gue dulu."

"Lo mau makan dulu?"

"Enggak sih, cuma tadi Kei minta dibawain makanan, terus yaudah tadi gue pesenin deh."

"Oh gitu."

"Lo mau sekalian gue pesenin gak?"

"Enggak usah, makasih."

"Tapi udah terlanjur tuh tadi sekalian sama pesenan Kei."

"Yeh kalo gitu ngapain nanya dulu."

"Iseng."

"Ya, serah."

"Urusan lo sama Kintan udah selesai?"

"Udah."

"Ngapain aja tadi sama Kintan?"

"Cuma beli buku bareng doang."

"Kenapa nggak nebeng Kintan aja sih?"

"Jadi lo nggak ikhlas jemput gue?"

"Dikit."

"Kalo emang nggak mau jemput gue, mending sekarang lo pulang."

"Dih, gue udah jemput lo dari satu setengah jam yang lalu, tapi lo masih asik sama Kintan, terus lo nyuruh gue nunggu di sini aja, terus gue turutin. Bilang makasih kek apa kek, ini malah ngusir."

Oh iya, benar juga apa kata Davel. Memang aku yang menyuruhnya untuk menjemputku tadi, sejak hampir satu setengah jam yang lalu. Tapi karena aku masih sibuk membeli buku di toko buku bersama Kintan, jadinya aku suruh Davel menunggu di fast food restaurant ini yang letaknya tak begitu jauh dari toko buku.

Aku menyusahkan sekali ya ternyata.

Tapi Davel bahkan mau aku repotkan seperti ini.

"Oke, makasih. Dan, maaf," ucapku.

Davel mengalihkan matanya dari ponsel, dan menatapku. Dua detik kemudian, dia tersenyum kecil. Dan bersamaan dengan itu, seorang pelayan mengantarkan dua plastik besar berisi pesanan Davel.

"Makasih," kata Davel pada mbak-mbak pelayan itu. Si mbak-mbak hanya membalasnya dengan senyuman, kemudian pergi.

"Yuk pulang," kataku setelah merasa tidak ada urusan lagi di sini.

"Eh tunggu. Anterin gue dulu ke toko cupcakes."

"Mau ngapain?"

"Mama tadi bilang Kei minta cupcakes."

"Oke deh, yuk!" ucapku dengan senyum yang tak bisa ditahan.

I just feel like... entahlah. Aku ngerasa unyu aja gitu melihat seorang kakak seperti Davel yang selalu berusaha menuruti apa yang diminta adiknya, Kei.

-

a/n

pendek sekali</3 muuv yah muuv. makasih banget buat yang udah baca, comment, bahkan ngevote!

MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang