Dia Berubah

1.2K 98 16
                                    

Semenjak kejadian Sarah, hubungan kami tidak sebaik dulu. Buktinya, aku pernah bertanya soal jadwal dia akan main bola. Dia mengirim screenshoot pemberitahuan kalau dia main jam segini di hari ini.

Dia berujar, "Lo nggak mau nanya, gue main apa nggak?"

Bahasanya berubah. Bahkan tulisan chatnya juga berubah. Dia tidak seperti Eral yang kukenal dulu. Mungkin ini pengaruh anak kota, teman-tmenanya di sana.

"Gitu yah, kalo orang mau nanya?"

"Sebenarnya, aku juga masih belum tau, nanti main apa enggak. Tergantung sistuasi. Kalo ada pemain luar, aku nggak bakal main."

"Kamu jangan pergi ke sana," ujarnya lagi.

"Kenapa?"

"Cewek enggak boleh ke sana. Pamali. Banyak cowok."

"Oke, aku enggak pergi."

Seakan aku menjadi pendengar yang baik, padahal aku memang tidak punya rencana ke sana. Tidak ada teman.

Semenjak itu, aku tidak pernah menonton permainan sepak bola karena di pikiranku mungkin Eral tidak ingin aku ke sana. Apalagi banyak cowok. Aku ingin menjaga harga diri di tengah proses hijrahku.

Semenjak kejadian Sarah, ada banyak perubahan dari diriku. Aku terus memperbaiki diri. Apalagi kejadian itu benar-benar .... Intinya, sesuatu yang pergi, kalau pun kembali tidak akan sama lagi. Itu kutipan penulis novel ternama, kan?

Selain itu, teman kampusnya pernah mengatakan kalau Eral suka izin pulang shalat tapi tidak kembali lagi. Aku melaporkan hal ini padanya. Iya, lapor lagi.

"Kamu nggak curiga siapa yang ceritain hal ini sama aku?"
Dia jadi dingin. Tidak selalu begitu sebenarnya. Dia tidak bertanya, jadi aku yang menawarkan.

"Siapa?"

"Kamu nggak perlu tau. Ini enggak boleh dibocorin." Aku mengatakan itu karena dia pernah punya istilah: aku tidak perlu tau. Banyak sih istilah spesial lain. Dulu dia juga sering menawar kalau aku lempar pertanyaan. Tawar harga maksudku. Contohnya: 2.500, 3.000, atau 5.000.  Fyuh ....

-ooOOoo-

Tanggal 9 Februari, aku punya pesanan buku yang dititip sama Ustadzah. Suaminya adalah murobbi suami murobbiyahku. Tapi saat itu dia tidak tarbiyah karena punya kepentingan lain. Terpaksa aku yang harus ambil langsung karena pemilik buku sudah membutuhkan buku itu.

Sayangnya, aku tidak bisa ke sana karena ada banyak cowok yang tarbiyah. Makanya, aku minta tolong pada Eral buat ambil. Eral, kalau disuruh mirip adeknya, Reski. Apa pun itu pasti dia mengikut selama dalam batas wajar. Aku menjelaskan padanya panjang lebar.

Eral bertanya, "Trus aku bilang apa?"

"Kasi tau aja kamu mau ambil buku pesanan teman kamu."

Dia pergi, ba'dda ashar. Aku mengiyakan lalu mengintruksi akan mengambil buku itu pukul lima di rumah murobbiku. Eral menolak. Katanya, "Enggak usah ambil di sana, di rumahku saja."

Ih ih ih, padahal aku berniat suruh dia bawa ke rumah. Eh, enggak lah. Meskipun rindu, aku malu padanya untuk bertemu. Mau sih, tapi aku saja yang melihatnya dari jauh.

Aku menginfokan ini pada Kak Ama, murobbiku. Tapi, aku hanya mengatakan dia seorang tema dan dia laki-laki. Aku tidak menyebut nama. Ya ampun, aku takut. Kak Ama bertanya lagi, dia pikir cowok yang akan datang anak kursus bahasa arab. Tidak, jawabku.

Kak Ama terus mendesak siapa. Akhirnya, aku menjawab. Eral. Kak Ama bertanya, kenapa aku malu sekali menjawab. Astaga. Aku benar-benar malu!!!

Saat buku itu sampai, Kak Ama chat aku. Setelah itu aku datang mengambilnya. Dan ternyata, Eral pergi menoton bola di lapangan. Jadi, kenapa dia tidak singgah saja dan bawa buku itu ke rumah? Dia juga sih yang tidak menawarkan diri. Aku kan malu. Tapi mau juga. Aduh ....

Starting From February [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang