Cerita Singkat Tentangnya

1.5K 121 15
                                    

Aku pernah ke sebuah tempat wisata. Perbukitan. Tanjakan yang rasanya nyaris membuat betisku meletus di sana. Saat itu, aku melihat seorang cowok. Agak gendut. Entah kenapa, menurutku dia sama persis dengan Eral.

Mungkin inilah yang namanya jatuh cinta. Beda pun terlihat sama. Aku juga pernah nonton film Thailand. Semua aktor mirip dengan Eral. Ha ... dasar cinta.

Kembali dari sana, aku langsung menceritakan cowok tadi pada Eral di chat kami.

“Di sana, aku liat orang yang mirip banget sama kamu, cuman gendutan dikit.”

“Mungkin dia udah nikah.”

Aku tertwa kecil. “Trus, kenapa nggak bawa istrinya?”

“Masa dia tega liat istrinya kelelahan ngedaki gunung?”

Soal hal ini, aku memang mengeluh karena bukit yang kami daki sangat tinggi. Nyaris saja aku tewas di sana.

Eral menanyakan banyak hal. Jarak, pemandangan, pengunjungnya, dan lain-lain. Mungkin dia berniat untuk pergi saat itu. Tapi memang, beberapa hari kemudian dia pergi ke sana.

Oh iya, dulu nilai hasil reading Bahasa Inggris pernah dipajang pada papan pengumuman sekolah. Aku mendapat nilai sembilan puluh. Lumayan. Saat itu Eral bercerita padaku. Katanya, dia ke sekolah dan menaruh sidik jarinya di kertas itu.

Memang waktu itu temanku memberitahukan hal ini. Soal dia yang datang ke sekolah. Sayangnya, aku sedang mengikuti sosialisasi. Tidak mungkin aku menerobos keluar hanya untuk menemuinya.

Dia menyuruhku melihat sidik jari itu. Rasanya tidak masuk akal. Hal begitu pun harus kulihat.

Sebenarnya, pulang sekolah aku melewatinya. Tapi aku tidak menoleh. Cuek saja. Aku bahkan menyuruh temanku untuk abai karena nilai kelas kami terbilang buruk. Padahal aku dapat nilai sembilan sepuluh. Aku tidak mau menyombongkan diri.

Mungkin memang bukan takdir. Seandainya itu ular, pasti aku sudah kepatok.

Esoknya, aku mau berangkat ke sekolah pagi-pagi sekali agar bisa melihat sidik yang Eral maksud. Eh, kesiangan gara-gara Nura telat entah karena apa. Dan ... sampai di sekolah, ternyata guru bahasa Inggrisku sudah ada di sana! Kertas itu sudah hilang entah ke mana!!

Ya ampun .... Sakit .... Bayangkan saja rasanya!

Rasanya ... aku ... tidak tau harus bagaimana. Sidik jari itu bukan apa-apa sih. Eral juga yang menyuruhku seperti ini.

Pulang sekolah, aku langsung menceritakannya.

“Kayaknya aku nggak ditakdirkan buat liat sidik jari itu. Soalnya waktu aku pengin liat eh udah hilang.”

“Ada kok!”

“Iya, emang ada. Tapi udah dicabut sama pak guru. Udah hilang.”

“Nggak pa-pa. Lupain aja,” balasnya. Perkara selesai.

Pernah juga suatu malam, aku dan Eral bernostalgia soal masa lalu kami. Saat perkenalan tepatnya. Aku bercerita bagaimana dia dulu. Nasihat dan ceramah beruntunnya. Ha ha.

Dia bilang, “Kayaknya aku ingat.” Lalu dia melanjutkan, “Laki-laki emang gitu. Selalu ingin terlihat baik di depan wanita.”

Entah apa maksudnya. Sulit untuk kumengerti. Mau terlihat baik di depanku? Atau apa, sih? Entahlah.

Setelah itu, aku kembali mengungkit ceramah-ceramahnya. Mungkin dia malu karena saat itu dia masih jaim, jaga image.

-ooOOoo-

Tanggal 21 September, ada ibu-ibu yang berdiri di depan rumah, pinggir jalan. Aku mengernyit menatapnya. Rasanya, aku mengenali wajahnya. Aku terus menganalisa sampai akhirnya tersadar kalau itu ibu Eral!

Astaga!

Aku berujar pada ibuku, “kayaknya, itu ibu temenku deh, Bu.”

“Sana, ajak ngobrol,” balas ibu.

Hatiku berbisik kalau itu calon besannya ibu. Ha ha.

Akhirnya aku berjalan ke sana. Setelah menyalaminya, aku bertanya apa dia ibunya Riani atau bukan. Dia menjawab iya. Dugaanku benar!

Kami mengobrol. Aku memperkenalkan diri kalau aku ini kakak kelas Reski, tapi adik kelas Eral. Dia menanyakan banyak hal padaku. Tempat tinggal, ini, itu. Dia bahkan bertanya di mana aku kuliah. Memangnya wajahku setua itu?

Makanya kujawab aku masih SMA, kelas dua belas.

Aku bertanya apa dia mau ke puskemas dan dia juga menjawab iya. Tetangga baru saja kegigit anjing, katanya. Aku memang melihat ada kotak obat yang dia pegang.

Sementara kami terus mengobrol, ayah Eral datang. Mereka akhirnya pergi. Aku melihat mereka dari jauh, sebagai calon menantu yang baik. Dulu aku memang gila. Tolong maklumi saja.

Aku mengambil foto sebelum mereka hilang dari jangkauanku. Tentu saja aku mengirim foto itu ke Eral. Kataku, siapa itu?

“Andalanku,” jawabnya. Seperti biasa, aku menceritakan tentang aku yang dengan sok kenal mengajaknya ngobrol. Tapi, aku tidak bisa mengenali wajahnya. Konyol.

“Udah kenal kok. Kalian kan udah ketemu.” Itu yang dikatakan Eral. Lanjutnya, “emang apa aja yang kamu bilang sama dia?”

Ya ... aku menceritakan keseluruhan dari potongan kisah tadi. Rasanya memalukan. Aku ingat bagaimana ibunya menoleh padaku dan tersenyum, entah senyum padaku atau bunga ibuku karena dia juga suka bunga. Tapi, semua anggota keluarganya memang ramah sih.

-ooOOoo-

Lambat laun, Eral semakin ekstrim. Dia bahkan memintaku mengirim pesan suara. Dia ingin aku bercerita.

“Nggak usah kalo cuman mau diketik,” katanya. Pikirku, mungkin dia hanya ingin mendengar suaraku. Tau saja suaraku itu fals meski hanya bicara.

Makanya, aku menyuruhnya balik. Bercerita.

Kalian tau cerita apa yang dia ceritakan? Ya ampun, bikin emosi!

“Ada orang yang berniat untuk bertobat besoknya tapi pada paginya dia telah meninggalkan dunia ini. Kisah selesai!”

Hanya itu. Iya, hanya itu! Benar-benar bikin emosi, kan?

Lalu saat puasa tasu’ah, aku enggan chat duluan. Kami kan, puasa. Dia puasa. Aku puasa. Entahlah, tidak enak saja. Saat itu, dia mau ikut kajian yang dibawakan oleh ustad favoritnya.

Sepanjang perjalanan, dia merekam apa pun yang dilewatinya dalam video sampai parkiran lalu mengirimnya padaku. Sebagai laporan. Bahkan celana cingkrang dan sandal jepitnya bisa kulihat. Memalukan.

Kami berbeda dengan orang pacaran yang apa-apa harus minta izin. Lebih kepada pelaporan dan bukti langsung. Meski pun begitu, tetap saja sebelas dua belas.

“Mau ke mana?” tanyaku pura-pura tak tau.

“Cari istri.”

“Terserah.”

“Ya ... emosi.”

“Pergi sana. Jangan pulang kalau kamu belum dapet istri.”

“Gimana caranya kalau nggak ada yang masakin.” Dia bercanda. Tapi aku tak suka! Aku tak suka kalau dia mengatakan hal semacam itu! Aku kan ada di sini, menunggunya.

-ooOOoo-

Starting From February [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang