"Berhijablah, Farha."
*****
"Farha! Mau sampai kapan kamu mendekam di dalam kamar?! Cepat turun ke bawah," teriak Ibu memanggilku.
Dengan bergegas, aku keluar kamar, dan melangkahkan kaki menuruni tangga. Sesaat sampai di ruang makan, aku melempar senyuman kepada Ibu dan Kakak perempuanku. Kakak perempuanku yang bernama Fatimah menatapku, dan balas tersenyum ke arahku. Tetapi, Ibu yang membalikkan pandangannya ke arahku, hanya berdecak.
"Kapan kamu mau mulai berhijab, Farha? Kamu tahu Abi sudah meninggal, lantas mengapa kamu masih tidak mau menutup aurat juga? Satu langkah anak perempuan keluar dari rumah tanpa menutup aurat, maka selangkah juga ayahnya itu hampir ke neraka," jelas Ibu.
Itulah yang membuatku terus berpikir keras. Berkali-kali perkataan Ibu mengetuk otakku, namun tak mampu mengetuk hatiku. Jawaban yang selalu kulontarkan tiap kali Ibu mengatakannya adalah, "Nanti, kalau Farha sudah siap."
Aku menatap ke arah Kak Fatimah yang hanya tersenyum kecil sembari memakan sarapannya, dengan mata yang menatap setiap deret kata pada koran pagi. Kak Fatimah adalah orang yang sangat kukagumi. Hanya saja, sedari kecil hubungan kami tidak sedekat seperti kebanyakan saudara kandung lainnya. Hal tersebut dikarenakan sifat tak banyak bicara Kak Fatimah, yang mirip sekali dengan Abi. Seakan ia sangat susah untuk didekati. Walau begitu, aku tahu bahwa ikatan di hati kami jauh lebih kuat dibanding yang lainnya.
Selain itu, Kak Fatimah adalah satu-satunya anak perempuan yang paling menurut apa kata Abi dan Ibu. Dari kecil, ia sudah mengenakan khimar. Beda sekali denganku, yang sampai sekarangpun masih belum mengenakan hijab. Entah, apa alasanku sebenarnya. Susah mencari jodoh kah? Susah mencari kerja kah?
Ibu berdecak. "Hijab itu bukan masalah kesiapan, Farha. Hijab adalah sebuah kewajiban. Siap atau tidak siap, hukumnya wajib untuk mengenakan hijab. Allah mengetuk pintu hati Ibu sudah sedari lama, namun Ibu baru menyadari hidayah-Nya ketika Ibu berumur 17 tahun. Ibu baru sadar bahwa Ibu salah. Ibu merasa menjadi manusia yang rugi karena selama 17 tahun itu, Ibu membuat banyak dosa dengan mengumbar aurat. Jadi, masih belum terlambat untuk memperbaiki atau bertobat. Tidak pernah ada kata terlambat untuk berhijab. Bahkan, saat berumur 59 tahun pun bukan waktu yang sempit untuk mulai berhijrah. Tapi, jangan sampailah kita terlalu merugi sebanyak itu."
Aku menghela napas panjang. "Dosa Farha banyak, Bu. Aib Farha juga banyak. Farha belum bisa memperbaiki sikap Farha untuk menjadi muslimah yang baik. Lalu, bagaimana Farha pantas untuk memakai hijab?" balasku, sembari menyuapkan sesendok nasi ke dalam mulutku.
Aku melihat dari ekor mataku bahwa Ibu sudah membuka mulut, berniat untuk membalas perkataanku. Namun, dengan lembut, Kak Fatimah memberikan tangan ke arah Ibu, menyuruhnya untuk berhenti. Kak Fatimah tersenyum meyakinkan, membuat Ibu mengangguk, dan pergi meninggalkan ruang makan. Aku mengembuskan napas, dan sesekali melirik ke arah Kak Fatimah yang masih sibuk membaca koran.
Aku ingin sekali berbincang dengannya. Namun, aku tak tahu apa yang harus kuperbincangkan. "Dek," panggil Kak Fatimah, yang akhirnya menaikkan wajahnya menatapku.
Senyumnya selalu manis seperti biasa. Akupun tak urung ikut tersenyum. "Ya, Kak?"
"Mungkin, Kakak tak biasanya berkata panjang begini. Tapi, mohon dengarkan Kakak, ya? Keputusan apa pun yang nanti kamu ambil, itu adalah pilihanmu," ujarnya, membuatku menautkan alis.
Sesaat setelah aku mengangguk, Kak Fatimah mulai menyingkirkan sarapan dan korannya ke samping. Ia menatapku mantap masih dengan senyum ramahnya. "Farha, adikku. Aib, dosa, atau apa pun itu, bukanlah penghalang untuk berhijab."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bersungut Sengau
Historia CortaBerisi kisah-kisah Islami manis tanpa pahit, yang menginspirasi. Mulai dari berhijrah, persahabatan, bahkan taaruf. Hidup ini memang selalu dipenuhi cerita tak terduga, lantas mengapa saya tak bisa membuat kalian terpesona? "Tak usah mengeluh, Allah...