Prolog

240 13 20
                                    

Aku menatap lekat pada wajah lelaki tampan di hadapanku. Lelaki yang menjadi obsesiku, lelaki yang mampu mengundang hasrat dalam diriku untuk selalu berteriak menginginkan tubuh indahnya. Ah, tapi itu semua--

"Menakjubkan!" Vanya berujar takjub, sepupuku itu bahkan juga mengaguminya.

Garis wajah yang tegas, mata yang indah, hidung mancung dan lekuk tubuh yang sempurna. Dambaan semua kaum hawa.

Lengkungan di bibirku tak pernah luntur sejak kedatangannya kemari. Aku bahkan sangat betah memandangnya berjam-jam.

"Apa kau tidak lelah memandanginya terus?" Vanya yang memang tidak bisa diam dengan celotehannya, selalu saja menggangguku. Untung saja hatiku saat ini dalam keadaan senang. Kalau tidak, mungkin akan kulempar dia ke Atlanta.

"Tidakkah kau mendambakan tubuh yang indah ini?" jari-jariku meraba kotak-kotak kecil yang membingkai indah perut lelaki di hadapanku.

Kulihat bibir Vanya mengerucut. Dia menghempaskan dirinya ke atas ranjang berukuran sedang milikku.

"Bodoh, kalau aku tidak menginginkannya!" Vanya ikut memainkan jari-jari lentiknya pada tubuh 'dewa yunani'-ku.

Aku tersenyum membayangkan suara lelaki ini saat menyebut namaku. Benar-benar menggoda.

"Aku akan turun ke bawah untuk mengambil minum!" tak perlu menunggu jawaban Vanya, aku melenggang pergi meninggalkan kamarku.

Aku mengambil dua gelas susu dan sepiring biskuit  yang mungkin bisa jadi pengganjal lapar sebelum waktunya makan malam.

Hanya beberapa menit dan sekarang aku sudah berdiri di depan pintu kamarku. "Berani-beraninya kamu!"

Dengan langkah panjang, aku menghampiri Vanya yang terus memukul lelaki tampan milikku. 'Beraninya dia.' teriakku dalam hati. Marah. Ya, saat ini aku sungguh marah padanya. Tanpa sadar, aku sudah menjatuhkan nampan yang ada di tanganku. Suara gelas dan piring mulai berdentum saat terjun ke lantai marmer di kamarku.

Tak peduli dengan pecahan gelas dan piring yang mungkin akan melukai telapak kakiku, aku tetap berjalan menghampiri Vanya untuk menyelamatkan lelakiku. "Hentikan!"

Vanya tersenyum miring dan menatap ke arahku. Keringat dingin mungkin sudah menari-nari di pelipisku. Apakah sudah ketahuan?

"Kau memang seorang model terhebat yang pernah aku kenal. Tapi--" Vanya berdiri dan menepuk kedua bahuku. "Kau bukan kriminal yang pandai berbohong, Clara Vishanika!"

***

30-05-2018
PingStory

Hai! Gimana menurut kalian?
Lanjut? Apa tutup?

Jangan lupa Vote dan Commentnya ya! 😘

Hope you like it!
See ya 😘

Distorsi RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang