Eleven

337 34 9
                                    

Author :

Votes dan comments sangat diperlukan ya kawan-kawanku sekalian :))

Selamat membaca!

~~~~~

Serenadya POV

Aku masih tidak percaya Bunda akan meloloskanku semudah ini. Jadi intinya, aku bercerita jujur ke Bunda tentang semuanya. Tentang Nanda, alasan Nanda mengajakku kuliah di Jepang, dan lain-lain.

Saat aku bercerita, semakin lama wajah Bunda menampakkan wajah sedih, tetapi di akhir ceritaku, wajah Bunda tiba-tiba berubah jadi senang. Entahlah, terkadang seseorang bisa menjadi bunglon tanpa kita ketahui alasannya.

“Jadi, Bunda ngijinin aku?” tanyaku tidak percaya saat itu.

Bunda mengangguk riang sambil tersenyum. Lalu dengan lembut, Bunda mengecup keningku lama sekali. Aku merasa bahwa inilah saat-saat terakhirku dengan wanita terkuat dan terhebat yang pernah aku kenal. Mataku berkaca-kaca lalu memeluk Bunda erat sekali.

“Ser, baik-baik ya Nak disana. Bunda sadar, Bunda gak bisa ngelarang kamu buat ngeraih impian. Tadinya Bunda mau ngasih kejutan kamu yaitu ngasih kabar kalo kamu boleh lanjut S2.

Tapi ternyata, ada orang berhati mulia yang ngasih kamu rejeki, Nak. Bunda seneng banget.”

Aku mengangguk-ngangguk pelan di pelukan Bunda. Aku pasti akan rindu Yah-Bun dan rumah ini. Aku pasti akan rindu teman-teman futsalku. Aku pasti akan rindu taman perumahanku, tempat orang itu mengucapkan kalimat penghancur bentengku.

Aku pasti akan merindukan apapun yang telah aku patri kenangannnya dihatiku. Khususnya di kota ini.

“Bunda juga seneng, akhirnya kamu bisa melupakan Mas-mas mu itu.”

Seketika itu juga jantungku rasanya berhenti berdetak dan mulutku beku.

Bunda salah besar. Bahkan untuk melupakannya saja hatiku masih perlu berpikir ribuan kali.

~~~~~~

Buru-buru aku memakai cardigan dan celana training dalam waktu 10 detik. Aku lalu mengambil kunci sepeda motor sport-ku dan berlari menuruni tangga.

“Bunda, mau ke Gabri bentar. Assalamualaikum!”

Tanpa mendengar jawaban salam dari Bunda, aku langsung menuju garasi dan megendarai sepeda motor kesayanganku tanpa memedulikan angin malam yang sangat dingin.

Setelah sampai di depan rumah Gabri yang jaraknya beberapa blok cukup jauh dari rumahku, aku langsung mematikan mesin motorku di depan pagar rumahnya.

“Gabriella! Gabriella! Bella, bukain! Please, Bel..”

Ah, belum apa-apa air mataku sudah mengalir deras seperti ini. Aku cuman bisa berkomat-kamit mengucap doa apapun agar Gabri tidak mendapratku malam ini, paling parah mungkin mengusirku.

Hatiku seketika lega sekali saat tahu Gabri sendiri yang membuka gerbang utama dengan wajah datar. Daripada muka nenek lampir, lebih baik begini. Mulutku langsung nyengir lebar yang dibalas dengan picingan mata Gabri. Mampus dah, mukanya asem banget.

“Ngapain?” tanya Gabri dengan ritme yang sangat cepat. Bahkan dia mengucapkannya tidak sampai setengah detik.

Tentu saja mukaku berkuda-kuda langsung untuk memasang muka semelas mungkin. Aku harus memilih kalimat yang sopan dan halus. Harus.

“Bella..engg...jangan marah dong sama gue. Gue bisa jelasin semuanya, Bel. Janji deh! Jelasin se jelas-jelasnya. Kalo bisa sampe tengah malem, dan gue sleepover di rumah lo. Mau ya?”

You Had Me at HelloTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang