Seven

480 33 6
                                    

Serenadya POV

Saat keadaan lagi kalut, pikiran kacau, dan jiwamu mungkin hanya melamun tak tahu arah, semua bisa terjadi. Yah setidaknya, aku mengalaminya. Setelah kemaren diajak si Mas ke Pantai yang bahkan aku gak tau namanya, nyampe rumah badanku tepar. Terlalu capek sampe aku sadar, aku melakukan hal yang aneh. Kemaren malem capek, dan rasanya besok pengen tidur seharian, bolos kuliah, tapi ternyata pagi ini aku bangun jam empat. Yah, jam empat pagi dengan sepatu masih terpasang manis di kaki, dan tas ku sebagai bantal.

Bagaimana bisa aku tidur nyenyak dalam posisi seperti itu?

Aku pun tidak tau kenapa.

Dan sesuatu aneh berlanjut saat aku sadar, hari ini aku semangat pergi kuliah. Saking semangatnya, aku berangkat jam setengah 7 pagi, dan sampe Universitas-ku jam setengah 8.

Aku langsung jalan ke kantin karena tadi malas sekali makan di rumah. Aku memilih tempat duduk sesukaku, yah karena memang kantin masih sangat sepi. Bisa dibilang hampir kosong melompong, hanya ada penjual makanan dan minuman. Aku lalu memesan bakso serta pasangannya, es jeruk.

Pagi cerah bersemangat kali ini aku nikmati dengan menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Jarang banget dapet udara bersih di kesibukanku akhir-akhir ini. Lalu bakso dan es jeruk-ku datang, tanpa nunggu lama, aku menusuk pentol lalu memasukkannya ke dalam mu—

Bak! Bak!

“.............”

Glek. Ekh, ugh, agh.

“Yaampun! Pentolnya masuk, Nad!!”

Amidabalakadabrabacadabra. Ya jelas masuk lah, orang dia nepuk pundakku keras banget. Kayak dorong punggung orang yang mau muntah. Aku berusaha napas sebisa mungkin, menepuk-nepuk mulutku, lalu memijat tenggorokanku. Aku mengibas-ngibaskan tangan kananku ke depan mukanya. Lalu, tanganku refleks mengambil es jeruk yang sama sekali belum ku sentuh, dan menenggaknya sampe habis.

Gigiku bergemeletuk, kedinginan. Ah sial! Mana es jeruknya dingin banget lagi. Tapi hal itu tadi gak kupikirkan, karena yang kupikirkan adalah bagaimana cara mendorong pentol segede itu biar bisa lewat kerongkongan dengan selamat.

Mulutku megap-megap kedinginan, lidahku kujulurkan keluar lalu kumasukkan lagi dan begitu seterusnya, “Lo....kuhang....ahar...Mas!!” Ah! Kenapa pelafalan suaraku jadi seperti banci malam senin? Bodo. Saat kayak gini, aku bener-bener ngelupain sifatku yang quite. Aku lalu menyendokkan beberapa sendok kuah bakso sampe kurasa mulutku sudah kembali ke suhu semula.

Aku berdehem, merasakan benda bulat sialan itu masih on the way ke lambung. Tentunya dia mengalami masa sulit dan kritis di dalam terowongan kerongkongan. Ah sial! Sakit sekali.

Saat jiwaku sepenuhnya sadar, aku mendelik ke arah si Mas lalu mendengus kesal.

“Pentolnya udah nyampe lambung?”

Seriously? Pertanyaan macam apa itu? Ini orang kurang bego apa emang bego apa sengaja bego sih? Seharusnya kan tanya, ‘Udah nggak sakit?’ atau ‘Mau gue beliin minum lagi?’ atau yang lebih baik, ‘Mau gue bawa ke rumah sakit biar kerongkongan lo di operasi?’

“Pentolnya itu segede ini Mas,” desisku kepada si Mas sambil menyatukan jari telunjuk dengan jempolku.

Raut mukanya seketika kaget, lalu kembali seperti biasa. Like seriously? Dia nggak merasa berdosa gitu? Nggak minta maaf atau apalah yang bisa bikin hati tentram. Ah emang ya dia laki-laki berhati kecil.

Aku menatap muka si Mas garang. Bodo ah, gak takut sama sekali sama si bego satu ini. Walaupun aku belum dimaafin, tapi dia udah berkali-kali ngisengin aku, jadinya impas lah. Yah seenggaknya anggepanku kayak gitu. Aku lalu sadar, sejak kapan si Mas ada disini. Terus, ngapain dia disini, dan yang terpenting adalah, darimana dia tau kalo aku kuliah disini?

You Had Me at HelloTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang