One

1.1K 62 15
                                    

Author:

Hah akhirnya kesampean juga dari hobby jadi diterbitin. Awalnya sih nyari inspirasi dulu dari baca-baca cerita anak-anak wattpad eh ternyata cerita ini terinspirasi dari novel yang di kado temenku, Aldira. So I dedicated this for her.

Maaf yaaa kalo berantakan, happy reading!

 ~~~~~~

Serenadya POV

“Guys! Naikkan tempo permainan! Ini menit-menit krusial.”

Ah, selalu itu aja yang dikatakan oleh pelatih futsalku, Pak Reido, saat menit-menit akhir menjelang pertandingan usai. Aku tahu, kata-kata itu emang jadi penyemangat tim kita saat tertinggal, seperti saat ini. Kita juga tahu kali apa yang harus kita lakuin, yaitu menaikkan tempo permainan, pertahanan diperketat, dan selalu berusaha untuk menembus pertahanan lawan. Jadi, percuma saja Pak Reido teriak sampai pita suaranya putus.

Aku mencoba menumbuhkan semangat kepada teman-temanku, tetapi aku tahu waktu kita tinggal sepucuk hidung pesekku. Aku mencoba membangun serangan dari daerah tengah, lalu bola aku oper ke sebelah kiri, dan terjadilah akhir dari permainan futsal…

Priiiit Priiit. Wasit meniup peluit panjang tanda berakhirnya pertandingan final kompetisi futsal putri U-19 di kotaku. Dan itu berarti untuk kesekian kalinya, sekolahku selalu gagal di pertandingan final untuk kategori futsal putri. Karena aku jadi kapten, aku tahu apa yang akan terjadi padaku setelah ini di ruang ganti.

~~~~~

“Serenadya, lagi-lagi tidak bisa memimpin timnya sendiri untuk bermain cepat!”

Nah, betul kan. Aku lagi yang kena. Akhirnya, dengan segenap sisa tenaga yang aku miliki, aku menegakkan kepalaku, menatap Pak Reido.

“Maafkan Nadya, Pak. Saya tadi sudah sekuat tenaga untuk memberi semangat kepada anak-anak. Tapi, lawan bermain sangat rapi hari ini, Pak. Apakah Bapak tidak melihatnya?” sambarku cepat melempar pertanyaan kepada Pak Reido.

Pak Reido tidak langsung menjawab pertanyaanku, ia melepas sepatu dan kaos kakinya, lalu menenggak minuman bersoda sampai habis, sedangkan kita hanya melihat beliau dengan tatapan takjub. Takjub karena Pak Reido sedang berkeringat tetapi beliau bisa menghabiskan minuman bersoda dalam waktu yang sangat pendek.

“Ya, saya memang mengakuinya. Tapi kamu juga harus bisa menciptakan alur permainan. Kamu kan sang kreator, jadi harus kreatif dalam membentuk sebuah serangan,” beliau lalu menatapku selama lima detik, “jadi, kita kalah lagi di final? Jadi runner up lagi tahun ini?” tanyanya dengan suara sedikit keras. Tak ada jawaban dari kita, karena kalau kita menjawab pertanyaan Pak Reido, itu berarti kita telah mengibarkan bendera perdebatan.

“Ya sudah, kalian punya waktu 15 menit untuk membersihkan diri kalian, setelah itu segera ke lapangan untuk penyerahan medali dan piala,” ucapnya dengan suara lebih pelan lalu meninggalkan ruang ganti. Kita masih tak berkutik.

~~~~~

Setelah penyerahan piala dan medali, aku dan sahabat sepermainanku, Gabriella menumpahkan kekesalan dengan mengunjungi Taman di dekat perumahan kita. Seperti tahun lalu, apa yang kita bicarain selalu sama. Membicarakan apa kekurangan kita saat pertandingan final tadi padahal akhirnya kita gak pernah nemuin apa kesalahan kita saat final. Karena aku dan Gab selalu membela diri, tapi kadang emang bener kok, kita mainnya udah rapi, tapi mungkin emang takdir berkata lain.

Kalo takdir ngomong kayak gini, kita bisa apa? Am I right?

“Nad, kok kita kalah lagi kalah lagi, kurang rapi gimana coba,” Gabri yang buka suara pertama kali dengan nada bersungut-sungut, sambil melemparkan batu-batu kecil ke kolam.

You Had Me at HelloTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang