Mengenai cinta dan benci, dilihat sekilas berbeda. Namun, siapa yang tahu bahwa sedang ada yang mempermainkan hati. Berlakon seolah-olah itu adalah benci, tetapi sebenarnya ialah cinta. Begitu pun sebaliknya.
-Monokrom-
"DARA!"
Seruan keras mampu menghentikan langkah Dara tepat di anak tangga ke-3 rumah itu. Ia mengembuskan napas gusar sebelum akhirnya menoleh pada seorang wanita yang tadi memanggilnya di bawah sana.
Dara menatap malas. Jujur saja, dia malas untuk meladeni mamanya sekarang.
Dengan suara berat karena terpaksa, Dara bertanya, "Apa?"
Wanita itu menatap Dara dengan tatapan tajam, dia terlihat marah sambil menggeleng tidak percaya.
"Kamu kalau ngomong sama Mama yang sopan!" ujar Rahma-mama Dara-penuh penekanan. "Kalau masuk rumah juga ucap salam! Kamu nggak tahu sopan santun, ya?"
Dara tersenyum geli. "Mama peduli apa? Mama nggak pernah ajarin caranya sopan santun." Kaki cewek itu bergetar hebat, dia melirik seorang pria yang sedang duduk di sofa dengan tatapan tidak suka, "Dara nggak tau sopan santun gimana yang Mama maksud."
Kalimat itu pun meluncur bebas. Mata Dara mulai berkaca-kaca, air matanya siap luruh dalam hitungan detik saja. Buru-buru cewek itu masuk ke kamarnya yang berada di lantai dua.
"Dara!"
"Dara!"
Panggilan Mama sudah tidak diacuhkannya. Cewek itu berlari cepat menaiki tangga menuju kamarnya. Yang dia butuhkan sekarang hanya kasur untuk merebahkan dirinya.
Setelah masuk di kamar, Dara melempar tubuhnya asal ke kasur. Mood-nya selalu hancur jika berbicara dengan wanita yang dia sebut Mama.
Cewek itu memejamkan mata sebentar, lalu pelan-pelan bangun, dan segera mengambil sebuah frame di atas nakas berisi foto seseorang.
Dia duduk menyilangkan kakinya di kasur sambil memandangi foto seorang pria yang sangat disayanginya itu.
"Dara kangen sama Papa. Dara kangen, Pa. Mama berubah seperti bukan Mama yang Dara dan Papa kenal dulu." Cewek itu mengadu.
Namun, kenyataan yang pasti bahwa foto itu tidak mampu berbicara, papanya sudah pergi setahun lalu menghadap yang Kuasa.
"Papa nggak sayang lagi, ya, sama Dara dan Mama?"
Dara rindu pada keluarganya yang utuh. Ada dia, Mama, dan Papa. Dia rindu pada canda tawa yang dulu selalu menjadi penawar rasa jenuh.
Dia rindu pada Mama yang selalu memarahinya saat dia terlambat bangun, juga Papa yang selalu menariknya secara paksa jika omelan Mama tidak mempan membangunkannya.
Sekarang, dia harus sendiri, apa pun harus dilakukannya sendiri.
Namun, semua itu tinggal kenangan. Kenyataan bahwa mereka telah terpisah dunia. Tuhan lebih sayang pada Papa, meski rasa sayang Dara dan Mama juga besar untuknya.
Pahit memang, tetapi begitulah hidup. Jalani saja liku-likunya, hingga takdir membawa kita pada sebuah kebahagiaan.
Teringat akan sesuatu, Dara segera merogoh ranselnya, dia mencari satu barang di sana. Semua bagian ranselnya telah dibuka, tetapi apa yang dicari belum juga didapatkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MONOKROM #WYSCWPD [SUDAH TERBIT]
Teen Fiction[COMPLETED-Wattys Longlist 2018] -cover by chaarfianti- Jika takdir adalah skenarionya, cinta memainkan lakonnya. Lantas peran benci tak ada artinya karena itu sudah bukan jalannya untuk menentukan akhir sebuah cerita. Namun, jika sampai benci yang...