PART 4 [REVISI]

7.3K 469 9
                                    

Mendengarkan cacian orang lain tentangmu hanya akan membuatmu terpuruk. Kuncinya hanyalah percaya pada kemampuan sendiri.

-Monokrom-

DARA membuka pintu ruang UKS dengan kunci cadangan yang dititipkan padanya salaku pengurus Unit Kesehatan Sekolah. Budi dan Ridwan menopang tubuh Arka ke UKS untuk segera memberi pertolongan pada cowok itu. Banyak luka di tubuhnya, terlebih pada bagian wajah, bahkan sudut bibirnya mengeluarkan darah.

Dara ingin mengobati Arka karena memang kewajibannya selaku pengurus Unit Kesehatan Sekolah, dia dikenal juga sebagai dokter sekolah. Jadi, mau atau tidak, suka atau tidak, dia harus melupakan sejenak persaingannya dengan cowok itu. Saat ini, Dara sudah duduk di kursi yang jaraknya dekat dengan ranjang tempat Arka dibaringkan.

"Bro, kita udah boleh pergi, 'kan? Mau geledah laci-laci di kelas tetangga, lumayan nggak perlu beli pulpen." Budi mewakili ketiga temannya yang lain. Perkataan itu sukses membuat mata Dara membelalak kaget. Ia melirik gelang yang terpasang di tangannya. Untung saja dia datang cepat sebelum komplotan Sandi itu mengambilnya.

Sandi dan keempat temannya memang selalu datang saat sekolah sudah sepi. Komplotan itu akan masuk ke kelas-kelas yang tidak dikunci untuk mencari barang-barang siswa yang tertinggal. Jadi, tidak heran jika paginya di kelas berserakan sampah karena semua plastik pembungkus snack, mereka jatuhkan begitu saja ke lantai dan mengambil barang-barang yang bisa mereka pakai, seperti pulpen, pensil, buku, bahkan ada yang pernah mendapatkan alat make up yang sudah pasti milik anak cewek.

Sandi tertawa. "Pergi aja sana. Sisain gue dua, satunya buat Dara." Sandi melirik Dara di sana dengan senyuman penuh arti yang membuat Dara geli. "Lo mau kan, Dar?"

"Buat Mila mana, Kak Sandi?" tanya Mila memanyunkan bibir bawahnya.

"Oh, Adek Mila mau juga? Ya udah nanti Abang Budi sisain satu."

"Oke deh, Kak." Mila tersenyum lebar mendengar perkataan Budi di sana.

Budi menyengir kuda, lalu melirik Sandi. "Ya udah kita duluan." Sekali lagi, Budi melirik Mila. "Babay Adek Mila."

Mila mengangguk. "Bye, Kak!"

Setelah Budi, Sarwan, Ridwan, dan Malik keluar, Sandi melirik Dara. "Lo obatin dia, gue ke kantin beliin minum," kata Sandi di ambang pintu. Tanpa jawaban dari Dara, cowok itu sudah pergi. Melihat itu, Mila yang sedang berdiri di belakang Dara melengos panjang.

"Yah ... gue kan mau ikut."

"Mil, ambilin kotak P3K."

"Oke, Dar."

Cepat-cepat Dara menoleh kembali pada Arka yang tidak henti-hentinya mengeluarkan ringisan sebab merasa perih pada sekujur tubuhnya. Ia berusaha bangun, memaksa dirinya untuk duduk. Dia tidak mau terlihat lemah di depan rivalnya itu. Setiap inci wajahnya terasa perih, apalagi pada bagian sudut bibir.

"Lo kalau nggak bisa gerak, jangan dipaksa. Lo tiduran aja!" ketus Dara, lalu memutar bola matanya malas. "Gue nggak bakal bunuh lo, tenang aja."

Dengan usahanya, kini Arka mengubah posisi menjadi duduk di pinggir ranjang kecil itu sehingga ia berhadapan dengan Dara yang tadi duduk di sampingnya. "Gue nggak butuh bantuan lo! Gue nggak kenapa-kenapa."

MONOKROM #WYSCWPD [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang