16 - Pertanggung Jawaban Camila

638 99 18
                                    

Untuk kesekian kalinya gue melirik Camila. Dan kesekian kalinya juga Camila menatap sinis ke arah gue. Tak lama dia berdecak sambil nyenggol gue keras. Bilangnya, "jangan ngeliatin gue mulu! Gue risih tau!"

Heh dasar, bilang aja lo salting.

"Yaelah Mil, kalau lo salting, bilang aja kali. Gak usah sok galak gitu deh—AAA SAKIT CAMILA!" Tanpa aba-aba cubitan maut Camila udah dateng menghampiri lengan gue.

Camila berdecak kencang, "mau ngomong apaan?!" Bentaknya kesal karena sudah sekitar sepuluh menit gue belom ngomong apa-apa dan sejak tadi cuman saling ngelirik.

"Lo masih ngutang sama gue." Jawab gue mengalah karena takut kena bentak lagi.

"Utang apa?"

"Utang puasa."

"Ck! Serius!"

"Utang pertanggung jawaban. Lo harus tanggung jawab soal kemarin. Hati gue udah lo permainkan tau!"

Camila mengerutkan dahinya, lagi-lagi tatapan sinisnya gak lepas dari gue. Nih cewek gak bisa santai dikit apa ya? Gue kan ngeri kalau tiba-tiba gue diterkam. Apalagi ini di teras rumah Camila. Bisa-bisa gue disangka lagi ngapa-ngapain Camila kalau tuh cewek teriak.

"Kenapa harus gue? Harusnya Abi dong! Asal lo tau, gue dipaksa sama sahabat lo itu!" Katanya sewot. Tak lupa jari telunjuknya menunjuk tepat ke depan wajah gue

"Heleh, dipaksa tapi seneng kan?" Kali ini gue dijewer bukan dicubit lagi. "Heh denger ya, Abi udah gue ngehukum kemarin, Radit juga udah ngaku. Tapi lo? Udah ngapain aja lo? Minta maaf aja enggak!" Protes gue jadi sok manja.

"Yaudah, maaf." Cicit Camila membuang muka.

"Basi, madingnya udah mau terbit!" Ucap gue menirukan adegan di film AADC saat Rangga terpaksa mau diwawancara tapi Cinta malah menjawab seperti itu.

"Apaan sih? Jadi orang random banget, heran." Sindir Camila sembari menggeleng-gelengkan kepala.

"Inget ya, gue belum maafin kesalahan elo. Jadi—"

"Jadi apa? Lo nyuruh gue jadian sama lo?"

Gue mendelik. Heran kenapa Camila jadi asal tebak begini. Walaupun emang bener gue bakal nyuruh dia jadian sama gue, tapikan gue baru memulai drama yang gue buat. Kenapa jadi bisa nebak tepat kayak gitu?

"Oh... jadi lo mau pacaran sama gue?" Goda gue dengan senyum nakal.

"Gue nggak bilang gitu," balasnya berusaha mengelak.

"Yaudah gini deh, tugas lo cuman satu. Jawab pertanyaan gue dengan cepat. Tapi jawabannya cuman 'iya' dan 'tidak'. Gimana?"

"Segampang itu?" Tanyanya tanpa curiga.

"Iya, gue mulai ya." Kata gue mulai bersiap. Gue berdehem sejenak lalu memberanikan diri buat natap mata Camila. "Pelangi ada tujuh warna?"

"Iya."

"Kaki ayam ada empat?"

"Iya. Ditambah kaki elo jadi empat,"

"Langit malam gelap?"

"Iya?"

"Ayam jago bertelur?"

"Iya—EH ENGGAK LAH!" jawab Camila panik. "Pertanyaan lo kok ga jelas sih?"

"Suka-suka gue dong. Mau dimaafin nggak sih?" tanya gue dengan nada mengancam.

Camila berdecih pelan. Sadar bahwa sekarang ia tak bisa banyak protes. Situasi yang sangat menyebalkan menurut Camila.

Gue mengerlingkan mata. "Lanjut ya," pinta gue.

Camila memutar bola matanya malas. Ia hanya bergumam sebagai jawaban. Sekarang ia akan menjawab dengan asal karena sudah tau bentuk pertanyaannya seperti apa. Lagipula anak TK juga tau jawabannya.

"Mata lo ada dua?"

"Iya."

Yaiyalah, pake ditanya. batin Camila

"Hidung lo satu?"

"Iya."

Lobang dua, upilnya yang banyak. Ngapain sih Hafidz nanya ginian?

"Cinta lo buat gue?"

"Iya."

Eh bentar? Tadi gue jawab apa?

Setelah itu, gue tertawa keras karena udah berhasil ngerjain Camila. Dan secara gak langsung gue juga udah nembak Camila. Gue nggak salah denger kan? Dia jawab 'iya' woiii!!!

I Y A

Ngerti kan? Udah gue eja masa gak ngerti. 

Gue berlari kencang keluar dari rumah Camila. Sumpah demi apapun, gue nggak berani nengok ke belakang. Camila udah ngejar gue sambil bawa sapu. Kayaknya ini karma karena kemarin gue juga gebukin Abi pake sapu.

Gue ngumpet dibalik bangku kayu yang ada dilapangan serba serbi di deket rumah. Camila udah natap gue tajam. Sekarang jarak gue sama Camila cuman dipisahkan dengan bangku kayu itu. Tangan gue udah mengangkat tinggi meminta ampun.

"Mil, jangan ngamuk dong!"

"Enak aja lo! Gimana gue nggak ngamuk-"

"RADIT GUE DISINI! TOLONGIN GUE!" Mata gue melebar dan refleks berteriak ketika melihat Radit yang ingin memasuki gang rumah gue dengan motornya.

Dengan suara gue yang menggelegar di sore itu, Radit menoleh. Gue bisa ngelihat dari jarak segini kalau dia kebingungan. Tak lama ketua kelas gue itu udah nyamperin gue dan menenangkan Camila yang lagi on fire.

"Udah Cam, mendingan lo pulang aja. Gue mau ngomong sebentar sama Sutet." kata Radit menengahi. Gue menjulurkan lidah ke Camila karena secara nggak langsung Radit ngebelain gue.

Camila menghela nafas kasar dan menatap mata gue dengan tatapan menusuk sebelum berbalik dan pulang. Atensi gue sekarang ke Radit. Gue juga bingung kenapa Radit mendadak nyamperin gue.

"Kenapa Dit? Lo nggak mau nagihin uang kas ke gue kan?" tanya gue yang malah digampar sama Radit. Kenapa gue selalu salah dimata orang sih?

"Enggak penting, tapi menurut gue penting." katanya siap memulai pembahasan yang mungkin... serius?

Radit membasahi bibir bawahnya sebelum kembali berbicara, "jujur aja, gue seneng pas jadi pacar pura-pura Camila. Tapi itu juga bikin gue sedih karena cuman pura-pura. Gue berharap lo bisa jadi pacar benerannya dia. Karena gue atau cowok lain gak bakal bisa bikin dia seneng, cuman lo. Gue minta tolong elo buat jagain dia. Karena dari sorot mata Camila gue bisa liat kalau dia kagum sama lo."

"Terus?"

"Gue mau lo jagain Camila, karena gue gak bisa."

"Kenapa gak bisa?"

"Gue kepilih buat ikut progam pertukaran pelajar. Mungkin gue bakal lega kalau Camila udah sama lo."

Gue sedikit bingung. Kenapa Radit alay banget ya dalam permasalahan cinta?

"Iya bro, santai aja. Lagian kan bukan gue doang yang bisa bikin dia bahagia, masih banyak temen kelas." Gue tersenyum miring memaklumi. Gue tau mungkin ini berat bagi Radit karena bakal nggak lihat pujaan hatinya selama pertukaran pelajar.

"Yaudah gitu doang. Gue juga sebenarnya nggak mau ngomong gini ke elo. Kebetulan aja lo manggil, jadi sekalian aja."

"Emang tujuan lo kesini mau ngapain?"

"Ambil laundry."

"Oh, laundry kancut doang ngapain sampe kesini? Emang deket rumah lo nggak ada?" tanya gue bingung. Tapi bukannya dijawab, gue malah dapat tamparan di pipi kanan.

"Males gue ngomong sama lo."

Setelah itu Radit pergi bersama motor kesayangan dia. Gue pun mendudukkan diri di bangku kayu tempat gue ngumpet. Mikir sejenak kenapa gue harus mikir.

"Apa gue harus nembak Camila lagi ya?"


 -Tbc-

Kenapa chapter ini aneh ya? Apa perasaan gue aja?

Tsundere - Ong Seongwoo ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang