Bab 6: Fake Sherine?

159 1 0
                                    

Jangan menyesal hanya gara-gara aku tak ada di sekitar kalian lagi, karena suatu saat, satu per satu akan menghilang dari dunia ini. Namun, tetaplah bina rasa toleransi di antara kita.
-Sherine-

***

"Teman, bagaimana soal Sherine? Apakah dia baik-baik saja?" tanya Chi kepada Melly yang sedari tadi fokus menunggu Sherine sadar. Ceritanya, kedua gadis itu, baik gadis Katolik maupun yang beragama Hindu masih menantikan kabar baik tentang Sherine, tanpa mengetahui apakah korban tersebut Sherine yang asli atau bukan.

Ya, mereka hanya menunggu saja, tanpa mengetahui kenyataan yang sebenarnya. Mungkin saja, itu bukan Sherine, tetapi kembarannya. Namun, keduanya tak peduli, melainkan hanya menantikan hasil pemeriksaan dokter dan suster yang sedari tadi ingin memeriksa Sherine--atau mungkin saja bukan.

Sementara Koko dan Gusti menunggu kabar baik tentang Sherine, paling tidak dari kedua teman gadis mereka. Sebenarnya, keduanya belum ada niat sama sekali untuk menelepon balik. Bahkan sedikitpun tak ada. Maka, Gusti pun bertanya kepada Koko, "Ko, kau mau hubungi Chi atau pun Melly, tidak? Sepertinya, pulsaku lagi habis nih, jadi tak bisa menelepon keduanya."

Bukan bertanya sih, melainkan meminta atau paling tidak, dengan cara memaksa.

Sedangkan Koko pun hanya menjawab, "Sama, Gus. Aku juga lagi bokek akan pulsa." Maka, suasana pun seketika menjadi hening, karena sudah tak memesan apa pun, keduanya malah sama-sama tak memiliki pulsa sama sekali untuk menelepon teman-temannya.

"By the way, apa kabar Sherine, ya? Jangan-jangan dia belum pulang ke rumah lagi," ucap Koko, dengan nada bicara yang menunjukkan kekhawatirannya. Ya, bagaimana mungkin seorang lelaki menyembunyikan rasa khawatir ketika dirinya sudah menemukan gadis pujaan hatinya seperti Sherine?

Namun, Koko tepis segala rasa yang mulai bermunculan, sekaligus tak dapat ditoleransi. Pasalnya, seorang Muslim dilarang berpacaran, apalagi dengan seorang gadis non Muslim seperti Sherine. Haram hukumnya. Sedangkan Sherine pun sepertinya punya prinsip, mungkin saja sama seperti yang Islam tetapkan, dia tak ingin berhubungan lebih intim dengan seorang pun lelaki di hidupnya, sampai dihalalkan nanti.

"Ko, kau baik-baik saja?" tanya Gusti ketika mendapati bahwa Koko tengah melamun, memikirkan Sherine, gadis yang dimarahinya tadi pagi. Sontak, lelaki yang ditanya itupun langsung membuyarkan lamunannya, dan menggeleng, pertanda tak ada yang perlu dikhawatirkan.

"Syukurlah kalau begitu."

"Memangnya ada apa, Gus? Kok kamu terlihat begitu khawatir padaku?" tanya Koko kemudian, yang hanya dibalas dengan gelengan kepala oleh Gusti. Alhasil, suasana menjadi semakin hening.

Namun, setelah beberapa saat kemudian, Gusti pun kembali menanyakan sesuatu kepada Koko, karena dirinya juga baru teringat akan pertanyaan tersebut. "Kau kenapa, Ko? Terliat olehku bahwa kau saat ini sangat gelisah. Aku tak tahu apa yang terjadi padamu." Lagi-lagi Gusti kepo pada Koko, berharap temanya itu menjawab pertanyaannya, namun sayangnya, yang ditanya takkan pernah menjawab pertanyaan sejenis itu.

"Terus, bagaimana dengan Chi dan Melly?" Gusti merasa sedih karena masih tak ditemukan solusi atas permasalahan yang mereka hadapi. Untung saja, Koko memiliki ide yang cukup cemerlang untuk menyelesaikan masalah tersebut. "Bagaimana kalau kita menelepon pakai telepon umum di kafe? Siapa tahu mereka membolehkan kita, meski sebentar dan menguras biaya, sih," usul Koko yang kemudian mendapat sambutan baik oleh Gusti.

Lantas, Gusti mengajak Koko untuk menghampiri meja kasir dan ingin meminjam telepon umum yang melekat di pinggir mejanya. "Ehm ... permisi, Bu. Saya--eh maksudku kami, mau berencana untuk meminjam telepon umum di sini. Bolehkah kami meminjamnya?" tanya Koko dengan ekspresi malu-malu yang ditunjukkannya.

Dalam PerbedaanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang