"Nyebelin banget gak sih Nar?"
"Iya lah nyebelin! Kalau gue jadi lo nih ya, udah gue tinggalin aja kali tu cowo." Ucapku, pada Fiona, internet best friendku—atau bisa disebut sahabat pena. Saat ini aku sedang melakukan video call dengannya. Kami berbeda kota, aku di Bandung sedangkan dia di ibu kota Jakarta. Kami bertemu di sebuah jejaring sosial karena kami menyukai satu band yang sama.
"Gue tuh ya, selalu ada buat dia Nar. Selalu gue usahain kalau dia butuh gue, gue harus ada. Tapi kenapa pas gue butuh dia, dia denger cerita gue aja nggak minat kayanya Nar, bete banget. Dia lupa kali ya kalau sahabatnya yang ini masih hidup?" Ia berbicara dengan menggebu-gebu, bahkan bisa ku lihat bahwa matanya sudah berkaca-kaca, saking kesalnya dengan sahabatnya itu.
"Hmm Fi gini deh, gue tau lo kesel banget, ya... lo juga manusia pasti mau punya temen yang macem prudential always listening always understanding. Tapi ya udahlah Fi, karena pada akhirnya cuma diri lo sendiri yang ada buat lo, pada akhirnya cuma lo sendiri yang bisa ngerti sama keadaan lo. Jadi, jangan ngarep sama manusia lah Fi, just trust yourself. Ngarep sama manusia tuh cuma nyakitin hati lo aja tau gak? Lo harus tetep baik sama sahabat lo itu, apapun kondisinya, jangan ngarepin balesan. Okay?" Ucapku panjang lebar.
Fiona mengangguk sambil menyeka air matanya, "AH NARAAAA THANK YOU LOH," ucapnya berteriak, "gue rasanya gak butuh siapa-siapa lagi kalau udah punya sahabat kayak lo gini, walaupun ya... kita gak pernah ketemu. Tapi sekali lagi thanks banget karena lo udah mau dengerin gue when i need someone to talk to. Gue beruntung bisa ketemu lo." Ucapnya.
Lalu kami melanjutkan berbincang-bincang. Aku juga menceritakan bagaimana aku bertemu dengan Bastian dan Angkasa, dua lelaki tampan yang tiba-tiba muncul dalam hidupku, entah akan menghadirkan bahagia atau malah sebaliknya, aku tidak begitu peduli sebenarnya. Aku sudah terbiasa hidup sendiri. Obrolan kami terus berlanjut berjam-jam hingga tengah malam. Aku lebih suka seperti ini; bercerita dengan orang asing, karena tidak akan merasa dihakimi. Aku butuh orang yang mendengarkan untuk mengerti, bukan mendengarkan untuk membalas ucapanku.
***
Minggu hari yang indah, aku selalu menghabiskan waktu di toko buku. Walaupun aku hanya membeli satu atau paling banyak dua buku, aku bisa tahan hingga berjam-jam hanya untuk memilih-milih buku. Seperti saat ini, aku sedang kebingungan sendiri akan membeli buku apa.
"Oy Nar!"
Aku menoleh, ah itu Angkasa, teman sekelasku! "Eh? Hai!" Ucapku sambil melambaikan tangan.
"Sendiri aja?"
"Keliatannya?"
Sehabis bertemu Angkasa, ia menemaniku memilih buku—memaksa lebih tepatnya. Aku sudah berbicara padanya bahwa jika aku sedang berhubungan dengan novel, akan lama. Tapi ia tidak mau meninggalkanku sendiri, takut di culik kuntilanak katanya. Aneh, mana ada kuntilanak siang-siang begini. Berakhir ia menyerah karena terlalu lama akhirnya ia mengambil novel-novel yang ada di genggamanku dan membayar semuanya. Angkasa, kenapa gak dari tadi sih baiknya? Nggak-nggak, bercanda.
"Angkasa ini 4 novel loh? Gue cuma mau beli dua! Uang gue lagi sekarat tau!" Ucapku sambil menenteng keresek berisi buku yang tadi Angkasa rampas dariku.
"Ambil aja Nar, lagi pengen berbagi kebaikan nih." Ucapnya lalu mengedipkan sebelah matanya kepadaku, membuatku mendelik kearahnya.
"Yaudah deh makasih, gue traktir lo makan es krim deh yuk? Tanpa penolakkan, anggep aja ucapan terima kasih gue." Paksaku kepadanya. Dibalas oleh anggukan tandanya ia setuju.
Kami banyak berbincang-bincang banyak hal, dari mulai membicarakan Bastian, membicarakan tentang diri Angkasa, aku hanya mendengar semua ocehannya hingga perutku terasa sakit karena terus-terusan tertawa akibat cerita-ceritanya yang lucu. Lagi-lagi, aku termakan omonganku. Angkasa... baik.
Aku tertawa, "udah ah cape! Pulang yuk? Udah sore."
"Gue anter ya? Sekalian mau ke rumah Bastian juga nih. Mau numpang makan." Ucapnya sambil tertawa.
Lalu kami pulang menggunakan ninja hitamnya Angkasa, aku sangat menikmati hari ini. Hari minggu yang paling menyenangkan sepertinya. Biasanya aku hanya akan ke toko buku-pulang. Sudah, tidak ada kegiatan apa-apa selain pulang dan menikmati novel yang telah ku beli.
"Stop! Udah sampai!" Ucapku sambil menepuk-nepuk punggungnya.
"Jangan lupa bintang lima nya ya mbak!" Ucapnya bagaikan tukang ojeg online tak lupa ia mengedipkan sebelah matanya. Angkasa, kamu cacingan ya? Ngedip-ngedip terus hehe nggak deh bercanda. Kamu baik!
Aku terkekeh, "bintang satu aja deh, masnya rese!" Ucapku.
"Jangan gitu dong mbak, nanti saya di pecat. Bagaimana mau ngasih makan anak dan istri?" Ia memasang muka memelas.
Aku hanya tertawa, ia ikut tertawa. Sampai akhirnya terdengar suara pecahan piring dari dalam rumahku.
Prenggg!
"Nar? Ada apa? Ada maling?" Ucapnya panik. Aku sudah tau penyebab kekacauan yang ada dalam rumahku itu.
"Nggak deh, kayaknya kucing gue berulah lagi. Udah sana ke rumah Bastian, gue mau masuk dulu!"
Ia terlihat tak percaya namun meng-iyakan dan pergi menuju rumah Bastian. Aku menghela napas panjang sebelum melihat perang dunia 3 yang disebabkan oleh orang tuaku—ya aku berbohong. Mana mungkin kucingku melempar piring.
"Ya kamu tuh mas, gak pernah ngerti!"
"Gak ngerti kamu bilang? Apa yang sudah aku berikan padamu itu, dan kamu masih bilang aku gak ngerti?!"
Suara bentakkan yang membuat bulu kudukku naik, aku hanya perlu menghiraukannya. Sudah biasa. Bahkan, mereka yang sedang bertengkar itu—orang tuaku—tidak sadar bahwa aku sudah sampai di rumah dan sedang memperhatikan mereka yang saling bentak-membentak. Cinta, memang serumit itu ya? Padahal mereka sudah mengikat janji abadi masih saja seperti itu. Bagaimana dengan yang baru pacaran? Ah aku membenci sebuah hubungan bernama pacaran. Tidak penting. Aku muak dengan semua hal yang bernama cinta. Sudah cukup sakit rasanya melihat dua orang yang kusayangi saling menyakiti. Bagaimana nanti jika aku ada di posisi mereka? Apa aku akan kuat? Ah sudahlah kepalaku berputar jika memikirkan hal seperti itu. Aku pergi ke kamar, dan mulai menuliskan sesuatu dalam buku harianku.
17.23 PM
Hai, kali ini aku mau bercerita tentang Angkasa! Iya, Angkasa yang pernah ku bilang bahwa dia di black list dari hidupku karena kelakuannya yang sangat menyebalkan itu. Tapi hari ini, Angkasa membuktikan padaku bahwa ia benar-benar baik! Kalian tahu? Dia membelikanku empat novel! Bukan hanya itu saja, obrolan selama kami bersama tadi, sungguh menyenangkan. Semoga dia akan selalu baik seperti ini ya.
Aku mendapat pelajaran hari ini; bahwa kita tidak boleh membenci seseorang. Karena kita tidak tahu esok akan terjadi apa, bisa saja orang yang kau anggap paling menyebalkan bisa menjadi penolong yang baik di hidupmu. Dan bisa saja orang yang paling kau percaya adalah orang yang akan paling menyakitimu. Ya, kita tidak akan tahu apa yang terjadi dengan esok hari. Jangan terlalu membenci seseorang, dan jangan terlalu mencintai seseorang. Sesuatu yang berlebihan, pada akhirnya hanya akan menyakiti hatimu saja.
***
"Bintangnya pencet–vote maksudnya–ya mbak! Jangan lupa dipencet, nanti saya gak bisa ngasih makan anak istri!"
-Angkasa-Vote yah, nurut sama Angkasa! Hehehehe
Love,
Invisibl-e
YOU ARE READING
ANGKASA
Teen FictionKadang, takdir begitu indah, tapi kadang pula, takdir begitu pahit, namun sepahit-pahitnya takdir kita harus menerimanya, karena sesuatu yang indah itu datangnya setelah badai. Kita tidak akan merasakan kebahagiaan yang teramat sangat, jika kita bel...