Semalam dan Dua Malam Lalu

5 0 0
                                    

Semalam aku mendengarnya menangis lagi, anehnya tangisannya sedikit berbeda daripada dua malam sebelumnya. Aku tidak tahu apa yang membuatnya menangis di kedua malam itu. Yang jelas, semalam tangisannya terdengar begitu pilu dan tertahan, seakan-akan ia membekap mulutnya sendiri agar suara tangisnya tak sampai membangunkan mimpi indah orang lain. Aku memang tidak melihatnya, namun aku mendengarnya. Aku merasakannya sebagai saudara kembarnya. Entah kenapa, semalam aku tiba-tiba terbangun dari tidurku yang pulas. Hendak mengambil segelas air minum, aku mendengar saudaraku menangis. Aku ingin menghampirinya dan bertanya ada apa, tapi mendengar suara pilunya membuatku membeku. Aku tahu ia ingin sendirian. Ia pasti akan malu jika aku tiba-tiba mendatanginya—tanpa diminta—di waktu terpuruknya, jadi aku hanya berdiri mematung mendengarkan suara tangisnya dari balik pintu kamarnya.

Tanpa berani mengetuk pintu, aku terus berdiri dan berdoa agar Tuhan bisa menguatkan hatinya. Sudah terlampau sering ia disakiti, seharusnya sudah cukup baginya untuk merasakan ujian perasaan yang Tuhan anugerahkan kepadanya. Sudah cukup. Tangisannya masih terdengar, artinya aku harus tetap berada di sini untuk memastikan bahwa ia baik-baik saja. Dua malam lalu, ia menangis sambil memelukku dengan erat, tanpa mengatakan satu kata pun. Aku tidak menanyakannya, karena aku tahu itu pasti tentang sesuatu yang sama seperti sebelumnya. Sesuatu tentang hati dan perasaannya yang mungkin saja tersakiti. Aku membelai lembut rambutnya, air matanya membasahi baju bagian dadaku. Tapi tidak apa, tidak ada hal lain yang bisa kulakukan sebagai saudara laki-laki selain menjadi tempat bersandarnya ketika sedih dan tempat perlindungannya ketika merasa takut.

Kami pernah berjanji satu sama lain, untuk tidak menanyakan apa yang terjadi ketika kita benar-benar sedih, kecuali jika mengatakan dengan sendirinya. Ya, kami begitu mirip ketika menghadapi masalah perasaan seperti ini. Sama-sama tidak ingin orang lain mengerti apa yang kami rasakan, membiarkan diri sendiri dan Tuhan Sang Pemberi Perasaan yang mengerti. Jadi, aku tetap berdiri di depan pintu kamarnya.

Kurasa aku belum pernah mendengar tangisannya sepilu ini sebelumnya, kecuali ketika Ayah kami yang selalu sehat tiba-tiba sakit tahun lalu. Entahlah, sungguh terasa menyiksa mendengarkannya menangis. Hatiku terasa mencelus, jantungku terasa diremas kuat-kuat seakan apa yang ia rasakan pun kurasakan juga.

Pintu kamarnya terbuka pelan, dan ia mematung mendapatiku berdiri di depannya. Tanpa mengatakan apapun, ia merangsek ke pelukanku dan menangis sejadi-jadinya. Suara tangisannya teredam di dadaku yang terasa hangat karena air matanya.

"Sungguh, aku tidak ingin menanyakan apa yang terjadi. Tapi aku tidak tega melihatmu menangis sebegini pilunya. Apa yang terjadi?" kuputuskan untuk melanggar janji yang kami buat beberapa tahun lalu.

Ia menggeleng kuat-kuat dan menjawab dengan suara yang serak dan lirih, "Aku malu mengatakannya."

"Jika itu tentang perasaanmu, maka tolong untuk sekali ini saja ceritakanlah. Bagaimana aku tega melihatmu seperti ini? Apa dia menyakitimu?" tanyaku.

Suaranya masih lirih, "Pantaskah aku menyebutnya menyakitiku jika ia saja belum menjadi milikku?"

"Jadi, dia bukan kekasihmu?"

Ia menggeleng.

Aku merubah pertanyaanku, "Sejak kapan kamu jatuh hati padanya?"

"Hampir satu bulan." Hampir satu bulan. Waktu yang masih sangat singkat untuk membuatnya menangis begitu pilu. Apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana mungkin ini terjadi dalam waktu sesingkat itu?

"Apa yang kamu ketahui tentangnya?" tanyaku. Aku tahu pasti bahwa sesuatu hal yang membuatnya sedih adalah mengetahui sesuatu yang seharusnya ia tidak perlu tahu. Ketika kita jatuh hati pada seseorang, kurasa semakin baik jika semakin sedikit hal yang kita tahu tentangnya.

"Bahwa ia tidak menginginkanku. Bahwa aku sama sekali tidak dijadikannya pilihan." Sedikit-sedikit ia menjawab rasa penasaranku. Meski jawabannya tidak lengkap, tapi aku dapat menangkap maksudnya.

"Kamu tahu kan, takdir itu sudah dituliskan. Kamu tidak akan tahu bagaimana akhirnya nanti, bisa saja akhirnya ia denganmu kan? Nikmati prosesnya. Asal kamu mau berdoa, pasti harapanmu terkabul. Kamu yang dulu mengajariku. Ingat?"

"Kamu tidak tahu seberapa sering aku memanjatkan doa untuknya kan? Aku ingin berhenti berdoa."

"'Janganlah kamu lemah dalam berdoa,'"

Jawabanku seakan meruntuhkan pertahanannya, ia kembali menangis hingga aku bingung harus melakukan apa.

"Mungkin saja kali ini memang benar-benar jawaban dari doaku. Mungkin takdirnya memang bukan bersamaku. Mungkin perasaan kali ini hanyalah cobaan untukku."

"Teruslah berdoa. Aku percaya bahwa doa dapat mengubah segalanya. Aku juga percaya bahwa dengan doa, sekalipun kamu tidak ditakdirkan dengannya, Tuhan akan memberikanmu seorang yang terbaik, yang jauh lebih baik darinya. Seseorang yang dapat menuntun kamu menuju surga-Nya kelak." Satu tanganku mengusap lembut rambutnya, sedangkan tangan yang lain membalas pelukannya.

Ia mengangguk, "Kita seumuran, tapi entah kenapa kamu selalu lebih dewasa dariku. Padahal, aku lahir dua menit lebih dulu dari kamu."

"Kenapa sampai sekarang kamu tidak peka? Aku mendahulukanmu di atas kepentinganku, agar kamu bisa segera bertemu ibu. Aku yang membantumu keluar. Aku," jawabku sambil tertawa. Ia pun membala tawaku dengan suara sengaunya kemudian memukulku pelan. "Aku harap kamu tahu satu hal, bahwa aku selalu bisa menjadi orang yang kamu andalkan, bahkan di saat kamu benar-benar ingin menyerah."

Sampai kapanpun, percakapan semalam akan terus teringat di kepalaku. Karena percakapan itu jugalah yang membuatku penasaran, bagaimana akhir dari kisah cintanya. Kisah cinta saudara perempuanku yang tak pernah setulus itu dalam mencintai sebelumnya, meski tak pernah ia tuturkan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 28, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Short StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang