"Blake, gue beneran gabisa. Gue bener-bener harus nyelesain pr gue," dusta Reina. Sesungguhnya, setiap pr yang ia dapat sudah dikerjakan di hari ia mendapatkannya.
"Lo seriusan segitunya apa?" tanya Blake tak percaya.
"Iya maaf, ya," balas Reina lalu memutar tubuhnya untuk kembali masuk ke rumah. Namun, Blake menahan lengannya, membuat tubuh Reina berbalik menghadap Blake.
"Kalo cuma jalan-jalan ke sekitar daerah sini aja gimana?" tanya Blake seraya menaikkan satu alisnya.
Reina menggeleng, "Nggak,"
"Mau sampe kapan sih lo mikirin hal begituan terus? Iya deh gue tau lo pinter," ucap Blake sarkas, ia tahu ini bisa membuat Reina luluh.
Benar saja, pendirian Reina mulai goyah. "Bakal lama ga?"
"30 menit?" tanya Blake lalu mengeluarkan kunci mobilnya dari sakunya, menandakan bahwa ia siap.
Reina mendengus, "...fine,"
"Nah, gitu dong," Blake tersenyum dan membukakan pintu mobil untuk Reina.
woi bangsat ngapain pake ada acara dibukain pintu sih astaga jadi baper kan sialan, batin Reina.
Blake menginjak pedal gas dan mulai mengendarai mobilnya. Sekitar 10 menit berkendara, Blake memberhentikan mobilnya di sebuah taman.
"Taman?" gumam Reina.
Blake menyadari gumaman Reina lalu tersenyum ke arahnya. "Ayo,"
Blake mengunci mobilnya dan menyimpan kembali di sakunya. Ia berjalan memasuki taman diikuti oleh Reina di belakangnya.
cowo yang terkenal bad boy di sekolah macem blake, ngapain anjir di taman kaya gini?, batin Reina kembali berbicara.
Setelah melalui pintu masuk utama, Reina dibuat takjub. Mereka disambut dengan macam-macam bunga dan tanaman di sekitarnya. Itu benar-benar memenuhi seluruh taman ini, membuat pemandangannya terlihat sungguh indah.
"Jadi, maksudnya daritadi lo mau bawa gue ke taman ini?" tanya Reina seraya tertawa kecil. Ia hanya tak percaya bahwa seorang Blake membawanya ke tempat itu. Bahkan awalnya ia mengira akan dibawa ke bar atau semacam arkade.
Merasa tak mendapat balasan apapun dari Blake, Reina menoleh ke arahnya. Pandangan Blake mengarah ke arah lain, tersenyum pada dirinya sendiri.
Reina berdeham, "Lo kenapa senyum-senyum sendiri?"
Blake mendongak dan tersadar dari lamunannya. Kedua pipinya terlihat memerah, ia blushing.
"Eh? Oh-uh, gapapa," jawab Blake lalu mengalihkan pandangannya kembali ke sembarang arah.
Reina mengangkat bahunya, tanda ia tak mengerti apa yang sedang Blake pikirkan. Ia kembali memandangi sekitar taman, daun-daun disana menampung titik air hujan yang sebelumnya turun membuatnya terlihat lebih indah.
Hujan baru saja berhenti ketika Carine pulang dari rumahnya. Tentu saja udaranya masih terasa dingin, ditambah ini sudah sore dan menjelang malam.
"Lo kedinginan?" tanya Blake. Reina hanya memakai kaos rumahannya dan celana jogger, jadi ia mengangguk.
Blake menghela nafasnya pelan lalu melepas jaket yang ia kenakan. Kemudian, ia meletakkannya di pundak Reina.
Perlakuan Blake tentu saja membuat Reina terkejut. "Blake, gausah anjir gapapa,"
Reina mencoba melepas jaket itu, namun Blake menahannya. "Udah, pake aja,"
"Thanks," ujar Reina dan dibalas anggukan dari Blake. "Lo kenapa bawa gue kesini?"
"U-um.." gumam Blake seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia berusaha menutupi dirinya yang sedang gugup.
"Eh, gapapa. Lo nggak harus jawab itu, sih," balas Reina tersenyum. "Lagian pemandangan disini juga bagus. Thanks anyway,"
"Lo juga nggak harus selalu ngomong 'thanks', tau nggak?" ledek Blake dengan mengulangi nada ucapan Reina sebelumnya.
Reina tersenyum malu, pipinya memerah sekarang. "Bodo amat,"
"Rei," panggil Blake membuat Reina kembali menatap lawan bicaranya. "Boleh gue meluk lo?"
Reina menatap laki-laki dihadapannya itu tidak percaya. Apa yang baru dikatakannya? "Mau ngap—"
Belum sempat Reina menyelesaikan perkataannya, Blake sudah menariknya ke dalam pelukannya. Blake tersenyum lega dibalik pelukan itu, ia merasakan ketenangan dan kenyamanan yang luar biasa.
"Blake, l-lo gapapa, k-kan?" tanya Reina dibalik pelukannya.
Blake melepas pelukan itu dan hanya tersenyum ke arah Reina, untuk membalas pertanyaannya. Dalam diri Reina seakan berteriak, setelah mendapat perlakuan manis dari Blake.
Reina membeku di tempatnya, jantungnya berdegup sangat kencang. Rasanya, sekarang perutnya dipenuhi kupu-kupu berterbangan.
"Sorry, was that bad?" tanya Blake akhirnya.
"Uh..." Reina benar-benar salah tingkah dibuatnya.
"Oh, atau lo suka, ya kan?" goda Blake, menyeringai.
Reina menarik napasnya dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya kembali. "Ya lagian lo ngapain gila tiba-tiba meluk,"
"Gue sadar, kayanya udah terlalu jahat sama lo," kata Blake dengan perasaan bersalah. Ia duduk di bangku taman di dekatnya. "Dan.., lo ngingetin gue sama seseorang. Seseorang yang gue sayang. Sampe akhirnya dia memilih pergi,"
"Dia siapa?" tanya Reina seraya ikut duduk di sebelah Blake.
"Mantan gue,"
Hati Reina meredup. "Oh..."
"Dia ninggalin gue, karena.. dia nggak tahan sama semua ejekan dan semacamnya dari orang-orang yang nggak suka sama hubungan kita. She was just like you," Blake tersenyum kecil. "Kutu buku, belajar mulu, jarang berinteraksi, dan sebenernya baik,"
"Maaf.." lirih Reina. "Gue jadi ngingetin lo sama dia,"
"Nggak, lo nggak perlu minta maaf," balas Blake lalu mendongak, menatap langit yang mulai kembali menurunkan rintik-rintik hujan.
Reina menatap laki-laki di sampingnya. "Dia berharga banget kan buat lo.."
"And that's why I fell for you too," Blake tersenyum dan menatap lembut Reina.
*****
anyway, ucapan Blake terakhir itu terinspirasi oleh masa lalu AHAHAHAHAH
y gmn y sist, indah gitu pada masanya:(
KAMU SEDANG MEMBACA
more than this • b.r
Fanfictioncrazy enough, to be crazy over you. Written in Bahasa Indonesia. Copyright© 2018 by creamchocolate.