4. Gibah juga Munafik!

165 15 0
                                    

Wajah Diah merah pedam. Amarah yang dia tahan selama kajian khusus putri berlangsung tadi sepertinya sudah mencapai puncak. Begitu yang lain membubarkan diri, gadis tersebut langsung menarik tangan salah satu temannya. Sama seperti yang dilakukan sang teman dua ahad lalu, Diah juga membawa orang itu ke tempat wudhu bagian wanita.

"Kamu benar-benar keterlaluan, Nisa!" Diah meluapkan amarahnya dengan sedikit berteriak. "Apa maksud kamu ngasih tahu yang lain kalau aku pacaran?!"

Tatapan tajam Diah seolah tengah menegaskan kalau kesalahan yang dibuat teman sepengajiannya itu sudah sangat fatal. Karena memang, Diah tidak pernah mengira jika Anisa akan membongkar kesalahan yang masih dia perbuat. Meski dari dulu Anisa sudah sering mengingatkan sampai puncaknya mereka bertengkar dua ahad lalu. Namun untuk memberi tahu teman kajian mereka yang lain, Diah tidak menyangka sama sekali.

"Tega kamu, Nis! Tega kamu bocorin kesalahan yang aku perbuat. Bi-"

"Kenapa kamu marah, Diah?" Anisa akhirnya memotong kalimat penuh amarah Diah dengan pertanyaan datar. Mata gadis itu balik menatap sang teman dengan tatapan dingin. "Kenapa kamu sampai harus sekalut ini? Kamu takut kalau nanti mereka melaporkannya ke Umi Siti? Kamu takut kalau nanti ditegur atau bahkan dimarahi?"

Diah tidak menjawab. Gadis itu justru masih menatap Anisa dengan mata tajam.

"Kenapa, Di? Kenapa kamu lebih kalut ketika teman-teman kita yang tahu? Kenapa kamu lebih takut kalau nanti Umi Siti juga tahu kesalahan kamu?" Anisa melanjutkan pertanyaannya. Kini suara itu sama seperti nada Isnain satu jam lalu. Begitu kentara dengan nada kecewa. "Tapi kenapa kamu nggak kalut saat yang tahu itu Allah, Diah? Kenapa kamu nggak merasa takut saat Allah yang melihat? Bahkan tiap detiknya, Di, Allah menyaksikan sendiri apa yang hamba-hamba-Nya lakukan."

Tatapan tajam Diah mengendur. Perasaan bersalah tiba-tiba menjalar masuk ke hati gadis itu. Sedikit banyak ucapan Anisa mampu menyentil emosinya yang sedang meluap.

"Itu bukan urusan kamu, Nisa. Kamu lupa dengan apa yang aku bilang dua ahad lalu? Berhenti ikut campur urusan aku!" ucap Diah kemudian.

"Tapi kamu itu temanku, Diah. Walaupun kamu nggak menganggapku siapa-siapa. Tapi aku akan tetap menganggap kamu sebagai saudara." Kini suara Anisa terdengar bergetar. Bendungan hangat sudah bertumpuk di kelopak matanya. "Jadi gimana mungkin aku biarin saudaraku sendiri terus-terusan dalam kesalahan? Gimana mungkin aku tega biarin kamu menempuh jalan ke neraka? Demi Allah, Di. Aku melakukan itu karena aku nggak mau kamu jadi orang munafik."

Diah tiba-tiba tertawa sinis. Tatapan tajamnya kembali menusuk masuk ke mata Anisa. Seolah apa yang barusan temannya itu katakan justru membangkitkan lagi amarah yang tadi sempat mereda.

"Kamu serius menganggapku sebagai saudara, Nisa? Tapi apa itu langkah yang akan diambil oleh seorang saudara? Dengan menyebarkan aib saudaranya sendiri? Dengan menceritakan ke semua orang tentang kesalahannya?" tanyanya kemudian. "Dan tentang kemunafikan. Seharusnya kamu berkaca, Anisa. Sebelum kamu mengecap orang lain sebagai orang munafik, harusnya kamu pastikan dulu apakah hatimu itu sudah benar-benar bersih dari kemunafikan! Tanya sama diri kamu sendiri, apa benar kalau semua perintah Allah udah mampu kamu jalankan? Dan sunnah Rasulullah, yakin udah semua kamu amalkan?"

Kini Anisa yang termangu. Menurunkan tatapannya ke ubin berwarna putih yang dia pijak. Hati gadis itu bagai disambar. Menyentakkan kesadaran yang selama ini mungkin sudah dia lupakan.

"Kalau kamu mengatakan aku munafik karena kesalahanku yang masih menjalankan hubungan haram. Lalu apa kabar dengan kamu yang begitu mudahnya menggibahku? Apa julukan yang pantas untuk seseorang yang begitu lahap memakan bangkai orang yang dia anggap saudaranya sendiri?"

Diah melanjutkan pertanyaannya. Kali ini tidak lagi dengan suara tajam. Tidak juga dengan tatapan marah.

"Persaudaraan yang kamu junjung begitu tinggi itu, justru udah kamu injak sendiri dengan keangguhan dan keegoisanmu. Atas nama persaudaraan, kamu jadikan itu topeng untuk menutupi kebusukan dirimu sendiri."

Diah memutar tubuhnya setelah mengatakan hal tersebut. Perlahan mulai menjauh dari tempat yang untuk kedua kalinya menjadi saksi atas pertengkaran hebat mereka. Meninggalkan Anisa yang kini sudah meneteskan air mata. Gadis berkhimar cokelat muda itu kemudian tiba-tiba limbung dan terjatuh. Menangis terisak di sana. Kilatan kesalahan yang selama ini tidak dia sadari begitu terang berkelebat. Menampakkan apa-apa saja dosa yang juga telah dia perbuat.

●●●●●

To Be Continue ...

Sahabat ke SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang