“Belajar? Memahami? Perlu waktu berapa lama lagi kamu mau belajar agar bisa paham, Diah? Berapa ratus kali pembahasan tentang ilmu agama ini harus diulang sama Umi Siti dan semua ustad kajian kita sampai kamu bisa mengamalkan?”
“Kenapa, Di? Kenapa kamu melanggar sesuatu yang udah jelas-jelas Allah larang? Kenapa semua nasihat yang dikasih selama kajian ini seperti angin lalu buat kamu?”
“Kenapa, Di? Kenapa kamu lebih kalut ketika teman-teman kita yang tahu? Kenapa kamu lebih takut kalau nanti umi Siti juga tahu kesalahan kamu?”
“Tapi kenapa kamu nggak kalut saat yang tahu itu Allah, Diah? Kenapa kamu nggak merasa takut saat Allah yang melihat? Bahkan tiap detiknya, Allah menyaksikan sendiri apa yang hamba-hamba-Nya lakukan.”
Diah menghembuskan napas panjang. Baik itu ucapan Isnain maupun Anisa dua ahad lalu masih saja bisa dia dengar dengan jelas. Membuat sesak. Seperti ada batu besar yang kini menganjal di dadanya.
Gadis berkhimar mocca itu juga tampak gelisah dari tadi. Melirik jam yang tergantung di dinding ruangan. Menghitung berapa lama lagi umi Siti akan keluar dari ruang rapat. Meski yang membuat Diah gelisah bukanlah lamanya rapat yang umi Siti serta pengurus majelis lakukan. Namun tentang keputusan terberat yang sudah dia pikirkan dari dua hari terakhir.
Berhenti. Mengundurkan diri. Apa pun itu namanya. Itulah keputusan yang diambil Diah dan akan dia utarakan pada sang pembina. Tekad Diah sudah bulat. Walau bimbang masih menyelimuti.
Namun itulah jalan terbaik menurut Diah. Karena dia pikir, kehadirannya memang hanya menimbulkan masalah. Seperti ucapan Anisa maupun Isnain. Buat apa dia terus ikut kajian, mendengar ceramah, membahas Al-Quran juga hadis. Namun untuk setara perintah meninggalkan perkara pacaran saja masih sulit dia lakukan. Dan kemunafikan. Mungkin hal itulah yang justru tengah dia kerjakan.
Lewat semua kejadian ini, Diah mulai bermuhasabah. Lantas akhirnya sadar kalau memang dialah yang salah. Sangat salah malah. Bahkan sudah sangat keterlaluan karena balik memarahi sang teman yang telah susah payah mengingatkan. Namun mau apa lagi, ibarat memasak nasi dengan takaran air yang terlalu banyak hingga mengubahnya jadi bubur. Begitu jugalah yang terjadi dengan hubungan antara dia dan Anisa.
Bahkan tidak hanya Anisa, dengan keenam teman kelompok putrinya juga begitu. Pertemanan yang terjalin di antara mereka sudah tidak lagi sama. Hanya kerenggangan yang ada. Kerakraban layaknya saudara juga tidak lagi tercipta. Justru canggung yang kerap kali singgah ketika mereka tidak sengaja bersua.
Diah kembali menghela napas lebih panjang. Pertemanan? Saudara? Diah menertawai dirinya sendiri. Bukankah di empat dan dua ahad yang lalu dia sendiri yang menegaskan bahwa di antara mereka tidak ada hubungan apa pun. Dia sendiri yang mengatakan bahwa Anisa bukan siapa-siapa. Jadi wajar saja, jika sang teman yang sebenarnya begitu peduli itu menjauh.
Diah kembali melihat jam di dinding ruangan. Mata gadis itu kemudian beralih menatap pintu ruang rapat yang masih ditutup. Entah berapa lama lagi dia harus menunggu untuk mengutarakan keputusannya.
Gadis berkerudung mocca itu lalu berdiri dari kursi besi panjang yang terletak di sudut tempatnya menunggu. Menghembuskan napas sekali lagi untuk mengurangi rasa sesak yang kian menjadi. Namun tiba-tiba saja dari arah belakang, seseorang menarik tubuhnya. Membuat Diah berbalik tepat menghadap orang tersebut.
“Aku mohon jangan lakukan ini, Di. Aku mohon jangan berhenti dari kajian. Aku mohon ....” Anisa berkata sambil menangis. Napasnya juga terlihat naik turun akibat berlari menaiki tangga untuk sampai ke lantai dua, tempat sekarang mereka berada. “Aku yang salah, Diah. Aku yang udah terlalu banyak ikut campur urusan kamu. Bahkan saking marahnya aku sampai mengecap kamu sebagai orang munafik.”
Diah diam. Belum terlihat akan mengubris ucapan Anisa. Gadis itu hanya menatap lurus pada wajah basah temannya.
“Tapi demi Allah, Di, aku mengingatkan kamu untuk berhenti pacaran itu karena nggak mau kamu terus-terusan melakukan maksiat. Aku ... aku sayang sama kamu. Aku cuma nggak mau kamu berada di jalan yang salah.”
Anisa masih melanjutkan ucapannya. Air mata gadis itu juga masih terus jatuh. Dia takut jika Diah tetap ingin keluar dari kajian. Karena kalau itu benar-benar terjadi tentu saja akan membuatnya sangat merasa bersalah.
“Kalau itu membuat kamu tersinggung. Aku minta maaf, Di. Aku minta maaf. Tapi tolong jangan keluar dari pengajian ini. Di luar sana banyak banget pemahaman yang menyimpang, Di. Aku nggak mau kamu ....”
“Termakan sama pemahaman itu?” Diah tiba-tiba memotong ucapan Anisa. “Atau justru kamu lebih takut kalau kelakuanku yang akan semakin menyimpang?"
“Di, ak—”
“Kenapa sih, Nis, kamu nggak berhenti aja mikirin aku? Nggak usah peduli lagi dengan apa yang akan terjadi sama aku. Benar atau menyimpang, toh, kamu juga nggak akan rugi. Lebih baik kamu fokus sama ibadah kamu. Bangun jalan yang benar-benar bisa nuntun kamu ke surga. Seperti yang selalu kamu bilang selama ini.” Diah kembali memotong ucapan Anisa. Tidak terdengar ada nada marah dalam kalimatnya. Justru raut wajah itu berubah sendu. “Karena ibarat jalan tadi. Aku ini cuma penghalang langkah kamu, Nis. Jadi lebih baik kamu singkirkan jauh-jauh pengahalang itu.”
“Enggak, Di, enggak.” Anisa menggeleng kuat. Membuat air mata gadis itu kembali terurai. “Aku nggak mungkin bisa berhenti peduli sama kamu. Aku nggak akan pernah bisa biarin kamu menyimpang. Justru aku mau bareng-bareng kamu menempuh jalan ke surga. Karena itu aku selalu nyuruh kamu buat berhenti pacaran.”
Diam-diam Diah terhenyak. Membuatnya perlahan menurunkan wajah. Mata gadis itu kemudian menatap buram pada lantai yang tertutup karpet cokelat. Entah mengapa ucapan Anisa mampu membuat sesak yang dia rasa kian bertambah. Bahkan sejauh ini, keegoisannya memang sudah terpukul mudur sejak pertengkaran mereka dua ahad lalu. Meninggalkan rasa bersalah yang kian hari kian membesar. Tidak hanya pada Anisa atau Isnain, tapi juga pada Sang Pencipta.
Satu tahun sudah Diah menjalani hubungan tak diridhai Allah itu. Dan selama satu tahun pula Anisa tak pernah lelah memberinya nasihat. Mulai dari cara paling halus hingga tiba ke pertengkaran mereka saat ini.
Padahal kalau ditilik dari awal pertemuan, mereka hanyalah dua orang yang dikumpulkan dalam satu kelompok majelis ilmu khusus putri. Tidak saling kenal. Tidak mempunyai ikatan apa-apa. Namun saat tahu dan menjadi satu-satunya orang yang menyadari hubungan tak halal itu, Anisa dengan sabar terus memberi peringatan.
Maka hingga ke detik ini, Anisa masih saja bersikuku ingin membuat dia berubah. Ingin dia menyadari sepenuhnya kesalahan yang telah dilakukan. Ingin dia meninggalkan hubungan yang hanya menciptakan kemaksiatan. Ingin dia menyudahi penambahan dosa yang entah sudah seberapa banyaknya.
Oh Allah, apakah ini yang disebut dengan mata yang buta, telinga yang tuli, dan hati yang mati dari mendapat hidayah-Mu? Sudah Kau kirimkan seorang teman yang mau mengajak ke surga, tapi dia abaikan begitu saja. Telah Engkau kelilingi dia dengan orang-orang baik, tapi justru dia ingin keluar dari lingkaran tersebut.
Diah kembali menarik napas dalam. Sesak itu kian terasa memuncak. Pandangannya semakin buram oleh bendungan air mata. Dan tiba-tiba saja dia mendekat ke arah Anisa lalu memeluk gadis tersebut. Setelahnya bendungan air mata itu tumpah ruah di sana.
“Ma-mafin aku, Nis. Maafin aku ....” Diah tercekat di sela-sela tangisnya. Memeluk erat bahu Anisa. “Demi Allah, aku minta maaf, Anisa.”
●●●●●
To Be Continue ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Sahabat ke Surga
Historia Corta"Nah, dari sini kita bisa ambil satu kesimpulan. Bahwa manusia itu memang hanya bertugas untuk terus mendakwahkan, menyerukan, dan meninggikan kalimat-kalimat Allah. Perihal bagaimana caranya semua kalimat itu bisa masuk dan meresap di hati manusia...