7. Sahabat ke Surga

272 19 7
                                    


“Dari Abu Umamah, dari Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam, beliau bersabda, ‘Barang siapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah, dan mencegah karena Allah, berarti dia telah menyempurnakan iman.’

“Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda, ‘Sesungguhnya Allah akan memanggil pada hari kiamat kelak, “Dimanakah orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku? Pada hari ini Aku menaungi mereka dalam naungan-Ku, di hari yang tidak ada naungan selain naungan-Ku.’

Umi Siti berhenti sejenak setelah membacakan dua hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Muslim tersebut. Lantas mengedarkan pandangan pada kesembilan gadis di depannya. Wanita berwajah teduh itu tengah menilik satu per satu ekspresi mereka. Terutama tiga orang yang duduk lebih dekat dengannya.

Jujur tadi dia sempat terkejut saat mendengar keributan di luar ruangan. Bersamaan dengan rapat yang sudah selesai, umi Siti dan anggota rapat lain langsung keluar. Maka setelahnya mengalirlah cerita dari Diah dan Anisa. Tak lama setelah itu, datang mbak Widi dan Isnain. Mereka berempat kemudian mendapat pengarahan khusus oleh ketua majelis yang saat itu juga menjadi pemimpin rapat.

Baik Anisa, Diah, Isnain, dan mbak Widi, mereka berempat tidak langsung pulang ketika pengarahan itu selesai. Justru menunggu hingga pukul empat sore, waktu kajian khusus putri dilakukan. Maka di sinilah kesembilan gadis itu berada. Mendengar penjelasan dari kumpulan hadis tentang Cinta dan Benci Karena Allah. Sebuah tema yang sengaja diambil oleh umi Siti untuk mengeratkan kembali tali ukhuwah yang sempat merenggang.

Meski awalnya sama sekali tak menyangka akan fakta tersebut. Namun umi Siti memilih memaklumi. Karena begitulah memang sebuah ukhuwah.  Harus selalu dikuatkan agar tetap kokoh. Harus senantiasa diperbaharui agar tidak memudar dan hilang.

“Lihat, bukankah sebuah ukhuwah yang dibangun atas dasar Lillah itu begitu indah?” Umi Siti kembali meneruskan penjelasannya. “Sebagai umat Islam, kita tidak harus lahir dari rahim yang sama atau mempunyai garis keturunan yang satu untuk menjadi keluarga. Cukup dengan sama-sama mengakui bahwa kita diciptakan oleh Tuhan yang satu dan Muhammad adalah benar utusan Allah. Kita sudah terikat oleh sebuah tali yang bahkan lebih erat dari tali persaudaraan sekalipun.”

Umi Siti menghentikan penjelasannya kembali. Kali ini wanita berusia sekitar empat puluh lebih itu menggeser tubuhnya ke arah kanan. Tepat menghadap Diah.

“Maka bersyukurlah, Diah. Ketika di luar sana banyak orang yang menginginkan untuk memiliki sahabat yang bisa membimbingnya ke jalan yang baik. Atau ada yang sudah memiliki, tapi sayang sang sahabat hanya bisa mengajak ke arah yang salah. Maka untuk kamu, Allah berikan sahabat terbaik yang bisa mengarahkan ke surga.

“Bersabarlah. Mungkin awalnya memang berat bersama orang-orang ini. Tidak henti mengajak untuk melakukan amal baik. Senantiasa tegas memberi peringatan ketika diri melakukan kesalahan. Tapi sesuai dengan sabda Rasulullah bahwa, ‘Perumpaan teman duduk yang baik seperti pemilik minyak wangi, jika kamu tidak mendapatkan sedikit pun dari minyaknya, paling tidak kamu mencium bau wanginya. Dan perumpaan teman duduk yang buruk adalah seperti tukang pandai besi, jika kamu tidak terkena hitam-hitamnya, paling tidak kamu mendapatkan bau busuknya.’

“Dan berbahagialah, Nak. Karena untuk dua orang yang saling mengasihi karena Allah, keduanya berkumpul karena Allah dan berpisah karena Allah adalah sekumpulan orang yang termasuk ke dalam salah satu dari tujuh golongan penerima naungan –Nya di hari kiamat.”

Umi Siti masih melihat ke arah Diah yang kini tengah mendengar takjim dalam posisi tertunduknya. Mata gadis itu kembali berkaca-kaca. Karena setelah semua rangkaian yang terjadi beberapa ahad ini, Diah kembali menemukan satu kesadaran lain. Bahwa rasa syukur yang dia miliki memang amat kurang menyambangi hatinya.

Sahabat ke SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang