Bagian -2

13.7K 957 32
                                    

"Gak mau, Mi ... Naula mau cama Abi!" rancau Naura yang menolak untuk ganti baju pagi itu.
Hanna menghela napas lelah menghadapi tingkah putrinya yang tantrum. Padahal semalaman ia tidak bisa tidur karena Naura terus mengigau mencari abinya. Sementara ia sudah bertekad mematuhi ucapan Dimas semalam dengan segera membawa Naura ke kamar mandi untuk membersihkan diri agar setelah itu bisa segera pergi dari sana.

"Naura ganti baju dulu, ya?" bujuk Hanna lagi.

"Abi mana? Naula mau cama Abi!" Naura pun menangis, karena kesal terus dipaksa untuk memakai baju. Padahal keinginan gadis kecil itu sederhana, hanya ingin bertemu abinya. Anak sekecil itu tidak tahu, kalau permintaannya itu cukup berat bagi orangtuanya yang tengah bermasalah.

Turun dari tempat tidur dengan hanya memakai pakaian dalam, bocah berusia empat tahun itu berlari keluar kamar yang pintunya tidak terkunci.

"Abi ...! Huaaaa!"

Teriakan dan tangisan Naura membuat Hanna ikut menangis. Ia membenamkan wajah di tempat tidur beralaskan kedua tangan, bahunya bergetar tanpa ada suara.

Fisiknya kelelahan setelah hampir seharian kemarin berkendara sendirian dari kota. Lalu kini harus kembali menempuh perjalanan yang sama setelah hanya istirahat semalam. Bukan hanya itu, pikirannya juga lelah karena mendapati penolakan Dimas yang tidak sejalan dengan harapan Naura.

Beberapa saat berlalu, tangis dan teriakan Naura tidak lagi terdengar. Menyadari itu, Hanna mengusap cepat wajahnya, lalu segera keluar kamar. Cemas dan penasaran siapa yang sudah menenangkan anaknya.

Ketika tiba di pintu penghubung menuju ruang tamu, langkahnya memelan, kemudian berhenti saat melihat Naura duduk di pangkuan seorang wanita paruh baya. Putrinya itu tampak riang bercerita pada lelaki paruh baya yang juga ada di sana. Pasangan paruh baya itu tidak lain adalah orangtua Dimas.

Hanna meringis. Ia sangat malu melihat pemandangan itu. Ia malu dengan orangtua Dimas yang dulu sangat baik memperlakukannya, berbanding terbalik dengan perlakuan orangtuanya sendiri.

Sementara di kamarnya, Dimas mengurung diri usai shalat Subuh. Ia berusaha menahan diri untuk tidak menemui Naura yang tangisannya terdengar pilu menggugah hati dan menggoyahkan egonya.

Namun, ketika tangisan gadis kecil itu tidak lagi terdengar, Dimas jadi penasaran. Tak bisa dipungkiri hati kecilnya juga diliputi kecemasan setelah menyadari Naura adalah darah dagingnya. Bergegas ia keluar kamar untuk memastikan apa yang terjadi. Tiba di ruang tengah, langkahnya terhenti saat melihat Hanna berbalik meninggalkan pintu penghubung ke ruang tamu. Sejenak, mereka berdiri terpaku tanpa kata. Hanya mata yang saling memandang, menyiratkan segala rasa yang tidak bisa diungkapkan.

"Hanna ...." Hanna dan Dimas tersadar oleh suara Bik Minah. Ibunya Dimas itu muncul sambil menggendong Naura, mengalihkan perhatian sepasang manusia yang sama-sama membuang muka dengan canggung. "Bawa Naura untuk ganti baju. Setelah itu kita sarapan, lalu Ibu mau bicara!"

"I-iya, Bu." Hanna mengambil Naura, lalu segera ke kamar.

"Dimas?" Bik Minah beralih pada putranya yang memandangi Hanna dan Naura hingga menghilang di balik pintu kamar yangtertutup. Bik Minah menghela napas pelan kemudian mendekati Dimas. "Hanna sudah kembali. Kamu harus bicara. Kasihan Naura ...."

◊◊◊

Suasana sarapan pagi di salah satu rumah pinggir pantai yang biasanya sepi itu, kini jadi ramai diisi celotehan Naura yang jadi pusat perhatian orang dewasa di sekitarnya. Makan bersama kedua orangtuanya untuk pertama kali, serta bertemu kakek dan nenek membuat gadis kecil itu ceria dan semangat. Bahkan ia mau makan sendiri, walaupun butir nasi yang disuapkan ke mulutnya cukup berantakan. Terlihat jelas ia begitu menikmati momen itu, tanpa tahu akan kecanggungan orangtua yang menatapnya.

Cinta di Batas Cakrawala [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang