Hanna menempelkan gagang telepon di telinga, sedangkan tangannya yang bebas menekan beberapa digit nomor yang dihapal diluar kepala. Sesaat setelah nada tunggu, terdengar suara yang sangat ia kenali menyahut dari seberang.
Hanna tersenyum lalu bertanya, “Hallo, Mami. Besok aku sekolah, kenapa Papi belum jemput aku?”
“Papi sibuk, tidak bisa jemput kamu. Lagipula, kamu tinggal sama Nenek saja dan lanjut sekolah di sana.”
Hanna tertegun beberapa saat. Kemudian ia bertanya pelan,“Kenapa?”
“Nenek, ‘kan di sana sendiri. Kamu juga suka tinggal di sana, ‘kan?”
“Iya, tapi aku mau pulang ...,” lirih Hanna dengan suara tercekat. Sementara, kaca-kaca sudah menggenang di pelupuk matanya.
“Sudah, jangan membantah. Dengar saja kata Mami! Tinggal di sana sama Nenek!” Setelah mengatakan itu, sambungan telepon langsung diputus maminya.
Hanna tidak kuasa menahan tangis. Keputusan sepihak orangtuanya itu begitu tiba-tiba, dan ia sangat ingin tahu mengapa. Namun, ucapan ketus maminya tadi mempertegas apa yang ia rasakan selama ini. Perbedaan kasih sayang yang sangat mencolok antara dirinya dan kakaknya oleh orangtua mereka.
Dan saat itulah puncaknya, ia diasingkan oleh keluarga tanpa sebab yang jelas di usianya yang barus dua belas tahun.
Tangan Hanna terasa lemas saat meletakkan kembali gagang telepon. Sambil mengusap kasar air mata di pipi, ia melangkah gontai ke kamar yang selalu ditempati setiap kali datang berkunjung di rumah neneknya. Namun, langkahnya terhenti ketika mendengar ucapan salam diiringi derit pintu rumah yang terbuka. Tanpa suara, Hanna menoleh saat membalas salam, dan mendapati seorang pemuda yang usianya lebih tua satu tahun darinya. Malik.
“Lho, Hanna? Besok, ‘kan sekolah? Kok, masih di sini?” tanya Malik heran.
Mendapat pertanyaan seperti itu, Hanna kembali menangis dan berlari menaiki tangga menuju kamarnya dan segera disusul Malik. Sampai di kamar, Malik semakin keheranan melihat Hanna duduk di lantai samping tempat tidur sambil menangis.
“Ada apa?”
“Aku mau pulang!” pekik Hanna dalam tangisnya.
Malik mendekat, ikut duduk di samping Hanna. “Iya, kamu bilang mau pulang hari ini, ‘kan? Lalu kenapa masih di sini? Nangis lagi.”
“Papi gak mau jemput aku. Mami juga. Kenapa gak ada yang mau jemput aku? Aku gak mau sekolah di sini. Aku mau pulang!”
Hanna terus menangis membuat Malik kebingungan. Lalu tiba-tiba, pintukamar dibuka oleh seorang wanita berusia enam puluhan yang sebagian rambutnya sudah memutih.
“Nenek, katanya Hanna akan sekolah disini, ya?” Malik langsung menyuarakan kebingungannya yang merupakan nenek mereka.
Wanita paruh baya itu menatap Hanna dan Malik bergantian. Tidak ada tatapan lembut, hanya sorot mata tua yang datar. “Iya. Mulai besok kamu sekolah di sini, Hanna. Papi kamu sudah urus surat pindah. Kamu ke sekolah sama Malik saja.”
Hanna bergeming, tidak menyahut sepatah kata pun. Neneknya tersebut adalah ibu dari maminya, single parent dengan dua anak perempuan sejak maminya berusia dua tahun—setelah bercerai dengan kakeknya yang merupakan orang Arab asli. Sifat neneknya yang keras, mirip maminya. Jika bukan karena Malik, Hanna juga tidak akan pernah mau menghabiskan waktu libur dengan mengunjungi neneknya itu.
Setelah sang nenek keluar dan pintu kamar tertutup tanpa mengatakan apa pun lagi, Malik beringsut mendekati Hanna. Tangannya mengusap bahu gadis itu agar tenang. “Sudah, jangan menangis. Tinggallahdi sini, dan kita akan ke sekolah bersama setiap hari ....”
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta di Batas Cakrawala [Sudah Terbit]
General FictionSUDAH TERBIT. Sebagian cerita telah dihapus. Cerita lengkap versi novel tersedia di google play book atau baca di KBM App. Link in Bio. (18+) Semburat jingga yang menggelayut di ufuk barat menandakan senja telah tiba. Saat senja di pantai itu, semua...