Bagian - 3

11.8K 902 42
                                    

Di kamar, Hanna terus menangisi ucapan dan reaksi Dimas. Seandainya tidak ada Naura di antara mereka, ia tidak sudi bertemu Dimas lagi meskipun ia masih sangat mencintai lelaki itu.
Pintu kamar diketuk dari luar kemudian berganti dengan derit pintu dibuka oleh Bik Minah yang masuk, tidak juga menghentikan tangisan Hanna. Tanpa ragu, wanita paruh baya itu duduk di samping Hanna, mengusap bahunya lembut.

“Maafkan Dimas. Jangan dengarkan kata-katanya tadi,” ucap Bik Minah.

“Semua salahku, Bu. Aku yang pergi, jadi seharusnya aku tidak pernah kembali lagi!”

B

ik Minah memeluk bahu Hanna yang bergetar. “Kamu ke sini demi Naura, dan itu tidak salah.”

“Apa saja yang Vania ceritakan tentang aku dan Naura?” Hanna mengalihkan pembicaraan sambil menggigit bibir khawatir.

Bik Minah menghela napas pelan dan mulai mengingat-ingat. “Setahun yang lalu, tiba-tiba Vania menghubungi Ibu, katanya tanpa sepengetahuan Pak Haris. Dia bilang kalau Bapak dan Ibu sudah punya cucu perempuan, namanya Naura yang terpaut satu tahun sama Hafiz.”

“Vania tidak cerita tentang keadaanku dulu?” Tangisan Hanna mulai berhenti. Raut wajahnya tampak semakin cemas.

Bik Minah menggeleng pelan. “Tidak ada. Vania hanya bilang, apa yang kamu lalui sejak meninggalkan Dimas sangat berat. Jadi, kemarin, ibu dan bapak sengaja pergi dan membiarkan Dimas sendirian di rumah karena tahu kamu akan datang bersama Naura. Kami pikir semuanya berjalan lancar, tapi ternyata ....” Bik Minah menatap Hanna penuh harap. “Kamu mau, ‘kan cerita sama Ibu apa yang terjadi?”

“Apa itu ide yang bagus dengan cerita sama Ibu?” Hanna menatap ragu sambil mengusap air matanya.

“Tentu. Biar nanti Ibu yang bicara sama Dimas ....”
Hanna menggeleng tak yakin. “Percuma, Bu. Dulu Dimas menikahiku karena terpaksa. Dan sekarang sama saja, tidak ada gunanya dia tahu apa yang aku lalui.” Setelah mengatakan itu, tanpa peduli panggilan Bik Minah, Hanna segera keluar mencari Naura.

◊◊◊

Dalam gendongan abinya yang berdiri di depan sebuah kelas PAUD yang tidak jauh dari rumah, Naura antusias melihat aktivitas anak-anak seusianya di dalam sana. Sesekali ia ikut bernyanyi, meski tidak tahu apa yang dinyanyikan.

“Abi, meleka cekolah, ya?”

“Iya. Hm ... Naura, sudah sekolah?” Dimas balik bertanya sambil mengusap punggung kecil sang anak.

Naura pun mengangguk, tetapi sedetik kemudian menggeleng pelan. Wajah gadis kecil itu cemberut, dengan malas kepalanya bersandar di bahu Dimas. “Naula gak mau cekolah lagi cama Abang Hafiz.”

Dimas mengernyit heran mendengar nama anak lelaki Haris disebut. Namun, reaksi Naura lebih menarik perhatiannya. “Kenapa?”

“Naula maunya cekolah cama Abi!”

Ada sesak yang tiba-tiba menelusup dalam dada mendengar ucapan Naura. Entah apa yang telah dilalui gadis kecil itu sejak lahir, tetapi kini Dimas yakin Naura membutuhkannya.

“Naura mau sekolah sama ....” Dimas menghentikan ucapannya seraya menegakkan tubuh Nauraa agar menatapnya. “Naura mau sekolah sama Abi, tapi sekolahnya di sini?”

Naura langsung mengangguk sambil tersenyum ceria. “Mau. Naula mau cekolah di cini aja!” pekiknya riang.

Dimas tersenyum. Ada rasa bahagia yang tidak bisa diungkapkannya tiba-tiba menyeruak dalam dada melihat keceriaan Naura. Ternyata, begitulah nikmatnya jadi orangtua. Hanya melihat senyum bahagia sang anak,bahagia pun tidak terkira rasanya.

Cinta di Batas Cakrawala [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang