"Anak tidak tau diri!"
Teriakan itu menggelegar, seiring dengan mendaratnya satu tinjuan; tepat dirahang kanan seorang pemuda yang duduk diatas sofa dengan kepala terduduk. Entah karena penyesalan atau digelayuti rasa takut.
"Tidak punya otak!!" Dan kepalanya mendongak bersamaan dengan tarikan kencang pada rambut bagian depan. Menjadikan kedua matanya beradu tatap dengan sorot tajam penuh angkara; pria yang lebih tua.
"Aku mempercayaimu tinggal di luar negeri untuk menempuh pendidikan, bukan menjadi sampah masyarakat, bodoh!!"Satu lagi pukulan nyaris mengenai wajahnya, apabila tangan kanan pria itu tidak ditahan kuat-kuat oleh wanita yang menangis disampingnya.
"Sudah, cukup. Kau menyakitinya!" Wanita itu menatap tajam kearah pria tersebut. Berucap terbata sembari berurai air mata. "Hentikan, kau melukainya, anakku terluka." Ucapannya kian melemah seiring dengan isak tangis yang kian mengeras.
"Dia juga anakku. Aku ayahnya, orang pertama yang punya hak mendidik perkembangannya." Pria itu balas membentak sang istri. Terlampau marah dengan apa yang dilakukan putra bungsunya, hingga menjadikannya lupa bahwa perkataannya semakin menyakiti hati ibu dari anaknya. "Ini salahmu yang terlalu memanjakannya."
Lantas pria itu kembali menarik rambut anak lelakinya teramat kencang hingga kepalanya turut terdongak semakin keatas. Menjadikan matanya kembali saling bersibobrok dengan sorot emosi yang berbeda.
"Jangan harap bisa melanjutkan kuliahmu di Sidney lagi."Pemuda itu terlihat pasrah, sorot matanya kosong tanpa emosi. Bahkan ketika pria itu melepas dan mendorong kepalanya, ia tetap diam. Mengabaikan pemuda lain mendekati dan mengusak surainya halus.
"Sudah cukup, Pa. Biar aku mengajaknya bicara."Pria itu mengusap wajahnya kasar. Menghela napas panjang, sebelum memberi anggukan mengiyakan.
"Besok pagi antar dia mendaftar di Hangsang University." Jeda, pria itu menatap anak bungsunya sesaat. Ada rasa sakit ketika melihat bekas memar keunguan dipelipis akibat ulahnya. Akan tetapi ketika seluruh ingatan tentang kenakalan yang anak itu lakukan, selalu saja mampu membuatnya merasa bahwa amarah dalam dirinya seperti ditarik dari ubun-ubun. Menjadikannya ingin terus memaki dan memukul hingga bungsunya merasa kapok tanpa ada niat mengulang kesalahan yang sama. "Dan Wonwo, jangan lupa masukan adikmu di asrama. Jangan beri dia kesempatan bersenang-senang sedikitpun."
Lantas pria itu melenggang pergi sesaat setelah mendapat anggukan dari anak sulungnya, Jeon Wonwo.
"Nah Jungkook, masuk kekamar. Bersihkan dirimu, nanti malam kubantu membereskan pakaianmu."
Menjadikan Jungkook mengangguk pasrah, membangkitkan diri dan melangkahkan tanpa minat memasuki kamar.
Segalanya terasa asing, meski tidak dapat dipungkiri bahwa rumah ialah tempat ternyaman untuk ditinggali. Akan tetapi bayangan kebersamaan dengan seseorang yang dulu selalu menemani membuatnya sakit sendiri. Sesak didadanya kian menjadi-jadi kala seruan rindu itu menaungi seluruh raga. Menjadikannya nyeri diulu hati, terlalu sakit bahkan rasanya seperti tercekik hingga nyaris mati.•°•
"Hyung,"
Jeon Jungkook, pemuda itu tersenyum lebar didepan layar laptop menyala, menampilkan cengiran jahil seorang pemuda dari seberang. Didalam kamar dengan keadaan pintu yang sengaja dikunci, Jungkook bergegas membuka laptop dan menghubungi ㅡ video callㅡ seseorang yang nyaris dua tahun menjadi kekasihnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
As If It's Your Last ㅡ v.k.
Fanfiction[COMPLETED] Moment to remember ㅡ Vkook | Taekook Top|Tae ° Bott|Kook Hurt