MALAM itu aku dilanda kecemasan. Dengan keraguan yang masih menggantung dalam benak, aku sudah membaca surel itu sampai sepuluh kali. Membuka, membaca, lalu menutupnya. Begitu terus hingga ketidakyakinanku sirna. Terlintas dalam pikiranku, bayang-bayang pilihan yang akan kuambil. Seseorang mengirimiku surel, memintaku untuk menemuinya tengah malam ini di Central Park. Akan ada dua pilihan yang bisa kuambil beserta risiko-risikonya.
Pertama, aku pergi diam-diam malam ini, tetapi bisa jadi orang itu akan melakukan tindakan yang dapat mengancam nyawaku. Kedua, aku bisa saja mengabaikan surel itu, menikmati malamku dengan damai dalam naungan fantasi yang acap kali kutemui ketika terjatuh dalam ketidaksadaran. Akan tetapi, aku ragu kalau orang itu akan menerorku dengan berbagai cara. Entah itu rentetan surel yang selalu datang setiap menit atau dalam bentuk aksi yang tidak akan pernah kuduga.
Kepalaku berdenyut-denyut. Tanganku berangkat ke pelipis, memijatnya lembut hingga rasa nyeri yang tercipta akibat terlalu memikirkan sesuatu yang belum pasti terjadi, enyah. Aku menatap lelangit dalam temaram dibantu sinar keperakan dari rembulan yang jatuh ke pintu dan angin utara menerpa tirai-tirai jendela, memikirkan tindakan yang harus kuambil.
Pikiranku tidak bisa lepas dari surel itu meskipun aku sudah bersusah payah untuk tetap mengabaikannya dengan memejamkan mata lebih lama-berusaha tidur dalam ketidaktenangan. Akan tetapi, otakku menolak. Batinku gundah. Ada perasaan aneh yang menyengat benakmu, seperti mantra hipnotis, membuatmu bertekuk lutut. Aku melongok ke arah kasur Indah. Gadis itu tidak terjaga, makin nyenyak. Terdengar dari dengkuran halusnya yang memecah keheningan kamar dan kacamata berbingkai hitam yang tergeletak manis di atas nakas, di antara kasur kami.
Pendengaranku ditajamkan, mencoba menerawang lebih jauh. Barangkali ada yang belum terjaga sampai selarut ini. Hening, senyap, tidak ada gerakan dari kamar sebelah, ataupun seseorang yang melangkah dalam gelap di lantai bawah maupun lorong lantai dua. Asrama ini kehilangan tanda-tanda kehidupan saat gulita.
Aku makin mendekati rencanaku pergi ke Central Park dan menemui sang pengirim surel. Kakiku menapak lantai kayu yang dingin sambil sesekali mengawasi Indah kalau-kalau dia terbangun. Namun, dia justru makin jatuh dalam dunia semunya. Aku bangkit dalam senyap dari kasur, berjinjit ke arah gantungan mantel untuk mengambil jaket sekaligus syal, menarik pintu pelan-pelan meskipun deritnya pecah dalam keheningan dan sempat membuat Indah menggeliat, tetapi ia tidak kunjung terjaga; lalu lenyap di balik papan kayu klasik.
***
New York sepertinya tidak akan pernah tidur meskipun malam makin larut. Cakrawala hitam membentang seperti sebuah kanvas besar. Awan berjalan pelan didorong angin. Lampu-lampu kota dan gedung pun menamparkan sorotnya pada aspal yang di setiap sisinya telah sedikit tertumpuk salju. Musim dingin hampir tiba. Pantas saja suhu nyaris mendekati anjlok. Aku membebatkan jaketku dan melilitkan syal di leherku, berusaha mencari kehangatan abadi sembari melambungkan pandangan ke luar jendela taksi yang kutumpangi.
Orang-orang di luar menembus kegelapan. Uap-uap yang berdesakan keluar dari rongga paru-paru bisa kulihat jelas. Seperti kabut putih di pegunungan. Taksi itu akhirnya berhenti setelah nyaris setengah jam bokongku panas karena kelamaan duduk. Aku melongok sebentar, memastikan bahwa aku benar-benar sampai ke tujuan, lalu memberikan uang sekaligus tip untuk sang supir yang rela mengantarku kemari selarut ini. Aku mendorong pintu, merunduk keluar, kemudian membantingnya.
Langkah kaki menuntunku makin masuk ke kawasan taman seluas lebih dari tiga kilometer persegi-yang bisa saja membuatku tersesat karena saking luasnya. Aku jarang mengunjungi Central Park sebelumnya, apalagi malam-malam seperti ini. Terlintas di pikiranku pada kegiatan pramuka yang dulu kuikuti sewaktu SMP begitu memasuki taman ini. Kegiatan jurit malam—berkelana menembus gelap sekaligus uji nyali dengan melewati daerah permakaman. Sedikit ada harapan kalau aku tidak akan bertemu hantu palsu di sini.
Gapstow Bridge hanya berjarak beberapa meter dariku. Aku sempat berhenti guna memantapkan pilihanku, semua risikonya, dan apa yang akan kulakukan jika sesuatu yang buruk terjadi. Hendak saja aku menarik langkah, tiba-tiba seseorang mencengkeram bahuku, menariknya kasar hingga aku spontan memutar dan akan melancarkan serangan.
Jantungku berdentam tidak keruan. Netraku membulat. Rahangku mengeras. Pun dahiku berkerut. Gelombang-gelombang emosi perlahan menguasaiku. Amarahku nyaris meledak ketika kudapati Krishna tiba-tiba muncul dalam kegelapan seperti setan. "Apa yang kaulakukan di sini? Membuntutiku?" tanyaku dengan nada meninggi.
"Harusnya aku yang bertanya begitu," timpal Krishna santai. "Sedang apa kau di sini di tengah malam begini? Mencari hantu? Atau malah mau jadi tukang sapu Central Park?"
"Bukan urusanmu."
Krishna melipat kedua tangannya, menatap lurus ke mataku. Seakan-akan ia berniat menenggelamkanku dalam tatapannya yang intens. "Kamu masih marah padaku ya?"
"Tidak usah pura-pura tidak tahu kamu. Kamu sendiri sudah tahu jawabannya. Kenapa tanya lagi?"
"Oke, aku minta maaf."
Aku tertawa getir, melengos. "Permintaan maaf macam apa itu? Tidak ada rasa menyesalnya sama sekali."
Krishna tampak kesal, tetapi ia berusaha menyembunyikan kekesalannya dengan berlagak sabar dan kalem. Seolah ia sudah terbiasa menghadapi situasi ini. "Lalu maumu apa?"
"Kamu pergi dari kehidupanku."
"Aku tidak bisa."
"Kenapa tidak bisa? Kau bisa menghancurkan kepercayaan yang sudah kubangun susah payah untukmu, tetapi kau sendiri tidak bisa pergi dari kehidupanku. Ironis."
Ia menghela napas agak panjang, memejamkan mata sesaat. Berharap ia dapat melepaskan beban yang terpikul di pundaknya. "Melati, ayo pulang. Ini sudah larut. Tidak baik perempuan berkeliaran di tempat umum tengah malam begini."
"Pulang? Denganmu? Setelah yang kaulakukan padaku setahun lalu, kau berani mengajakku pulang?" hardikku muak.
"Kenapa kau begitu keras kepala? Memangnya apa yang bisa kau dapatkan di sini, selain sepi dan gelap?" tanyanya frustrasi.
Mataku berkilat-kilat. Emosiku memuncak. Aku berharap bisa mengenyahkannya dalam sekali tatap. Seandainya saja tatapanku berbisa, aku ingin membunuh lelaki di hadapanku itu detik ini juga. Namun sayangnya, aku tidak bisa. "Dengar, urusanku kemari bukanlah urusanmu. Jadi, jangan coba-coba ikut campur."
"Perkataanmu barusan makin memperkuat dugaanku. Sepertinya kau menyembunyikan sesuatu dariku. Iya, 'kan?" tebak Krishna menyunggingkan senyum penuh kemenangan. Aku bisa melihat sepasang lesung pipi terbit ketika ia mengangkat bibirnya.
"Apa maksudmu? Aku tidak-"
"Seseorang mengirimimu surel, 'kan?"
Bahuku tersentak ketika tebakan itu terlontar dari mulutnya. Bagaimana ia bisa tahu kalau seorang anonim mengirimiku surel untuk datang kemari? Dia tidak menyadap ponselku, bukan? Sepertinya tidak walaupun itu juga tidak menutup kemungkinan. "Bagaimana kau bisa tahu?"
Krishna mengarahkan ponselnya telak. Cahaya putih kebiruan dari benda sejuta umat itu berpendar di antara pekatnya malam. Sebuah tulisan memenuhi layar. Aku tidak merasa asing dengan kalimat-kalimat yang tercetak di sana, dari setiap titik dan koma. Tidak salah. Itu surel yang sama seperti surel yang dikirimkan untukku. "Karena, aku juga dapat surel itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
5: Bombshell Blonde
AzioneBombshell Blonde telah mendapatkan seluruh senjata rahasia. Melati harus berusaha merebutnya kembali dan menggagalkan rencana Blonde sebelum para petinggi negara terbunuh. ***** [ BOOK ONE ] Cyclone, sebuah senjata rahasia mematikan, telah dicuri se...
Wattpad Original
Ada 5 bab gratis lagi