Wattpad Original
Ini bab cerita gratis terakhir

Chapter 7: The Beginning; Ready to Face Your Fear?

3.5K 307 99
                                    

Don't ever let somebody tell you you can't do something, not even me. Alright? You dream, you gotta protect it. People can't do something themselves, they wanna tell you you can't do it. If you want something, go get it. Period.” –The Pursuit of Happyness

***

ADA aroma khas menyeruak di Ruang Simulasi Ketakutan, seperti campuran antiseptik dengan bahan kimia, dan bunyi "ces" samar menyambutku dari uap-uap di pipa yang bertengger di lelangit ketika tuas pintu kayu mahoni ditarik ke luar. Di depanku, seorang pria berjas laboratorium membimbingku menuju sebuah ruang yang terletak di ujung. Dia membuka pintu, mempersilakan aku masuk, dan seulas senyum terbit di wajahnya, tanpa mengucapkan sepatah kata.

Aku menarik langkah ragu, berkali-kali mendongak. Nuansa kedap suara lantas menyelimutiku. Dengan dinding, lantai, hingga langit-langit yang serba putih, ruangan ini tampak dua kali lebih terang meskipun intensitas lampu di ruangan ini lemah. Lima meter di depanku, seorang wanita berambut sebahu membelakangiku. Kedua tangannya sibuk pada alat-alat di rak sebelah kursi empuk yang mengingatkanku pada kursi di ruang praktik dokter gigi. Netra wanita itu pun bersua denganku ketika bulu kuduknya berbisik bahwa aku sudah tiba di tempat ini beberapa menit lebih awal, sedikit mengejutkannya.

"Melati Johar?" tanyanya memastikan dengan intonasi penuh kehangatan. Aku hanya mengangguk dan wanita berjas itu pun mempersilakanku merebah di kursi dokter gigi tadi tanpa menghilangkan keterkejutan yang terpancar dari matanya. "Aku Vanessa Müller, dokter yang akan menemanimu dalam tes ini. Kau bisa memanggilku Vanessa supaya lebih akrab. Aku tidak suka suasana kaku."

"Apa kau semacam psikiater dalam tes ini?" Kulontarkan secara spontan pertanyaan itu.

"Kau bisa bilang begitu, tapi sebenarnya aku bukan psikiater. Aku dokter spesialis kesehatan fisik dan rehabilitasi dalam badan ini yang sekarang bertugas mengawasi ujianmu. Ya, kalau kamu tahu fisioterapis, bisa dikatakan aku ini pemimpin mereka," begitu kata Vanessa selagi menginjeksi cairan ke tabung suntiknya. "Oh, astaga. Aku hampir lupa protokolnya. Selamat sudah lolos tahap pertama. Tes sialan itu pasti membuatmu mual, bukan?"

"Terima kasih. Ya, itu sedikit membuatku pusing. Bahkan aku masih tidak percaya kalau aku lolos. Kupikir organisasi ini hanya kabar burung."

"Mr. King memang ingin kerahasiaan badan ini terjamin dan tidak terdengar sampai ke luar. Sedikit keren, bukan? Kau beruntung bisa lolos."

"Bisakah kau memberitahukan gambaran umumnya bagaimana tes ini berlangsung?"

Vanessa mencerlingku sesaat lalu pandangannya kembali teralih pada jarum suntik yang sudah siap digunakan, tetapi wanita itu memastikannya lagi sebelum benar-benar siap digunakan. "Seperti yang sudah diumumkan pusat bahwa Prephan akan menjalani ujian di Ruang Simulasi Ketakutan. Kau akan menjalani ujian itu."

Aku mengernyit. "Maksudmu kali ini aku akan melihat ketakutanku sendiri di ujian ini?"

"Exactly, bukan hanya melihat saja, melainkan kau juga harus menghadapi ketakutanmu sendiri. Tidak hanya itu, kau pun bisa melihat ketakutan Prephan lainnya. Itu tergantung dengan siapa kau akan menghadapi ujian ini. Sistem di tahap ini sangat acak. Banyak Prephan yang gagal sampai sini, tapi aku yakin kau bisa melakukannya."

Vanessa, kau salah. Salah besar. Kau benar-benar salah menilaiku. Justru aku meragukan kalau aku akan lolos di tahap ini. Optimisme yang sudah kubangun pupus tidak bersisa. Semua usaha untuk mengubur dalam-dalam ingatanku soal kejadian itu terasa sia-sia. Tanpa sengaja, badan ini memaksaku untuk membangkitkan lagi monster yang tertidur dalam benakku, membuka luka lama yang baru saja sembuh beberapa hari lalu. Aku tidak ingin kenangan itu menghantuiku lagi. Aku tidak ingin semua ketenangan yang sudah susah payah aku raih menguap percuma. Aku tidak ingin kembali lagi dalam keadaan terpuruk, yang akan membuatku tersedot kembali dalam lingkaran hitam itu. Aku benar-benar tidak ingin berada di titik balik terendahku.

Pun Vanessa selesai dengan urusannya. Dia menyuruhku untuk menggulung lengan kemejaku lalu mengoleskan alkohol di daerah yang akan ia suntikkan, di lengan atas. "Ini mungkin akan sedikit sakit dan ada rasa pusing sebagai efek sampingnya. Tahan sedikit ya?" Tanpa menunggu jawaban yang terlontar di bibirku, Vanessa menyuntikkan cairan itu ke lenganku telak.

Rasa nyeri dan ngilu bercampur menjadi satu. Dingin dari cairan itu mulai menyerbu aliran darahku. Ketegangan yang sempat menyentakkanku karena masuknya cairan itu ke tubuhku, perlahan mengendur. Aku merasa seperti melayang-layang di ruangan ini pada detik setelahnya. Rasanya seperti semua bebanku telah terangkat. Aku merasa ringan seperti angin. Ketika kulabuhkan pandangan pada Vanessa, pengelihatanku mengabur. Parasnya kini tampak seperti gaya lukisan Affandi atau riak dalam air. Sepertinya efek cairan itu mulai bereaksi. Aku sempat melihat bibir Vanessa bergerak, seperti mengucapkan beberapa patah kata. Namun, aku tidak dapat mendengarnya dengan jelas. Lalu, kegelapan total mulai menyambutku begitu hangat.

***

Terkadang aku berharap, matahari tidak akan pernah terbit lagi begitu aku membuka kedua kelopak mataku, tepat satu dekade lalu. Aku akan selalu dirundung perasaan bersalah tatkala kejadian itu terus-menerus mengambang di lautan ingatanku, seakan ia mengolok-olokku, menyudutkanku bahwa akulah orang yang bertanggung jawab atas kejadian itu. Kupikir ketika Vanessa selesai menyuntikkan cairan itu padaku dan kegelapan yang menyeretku lebih dalam, aku akan tiba di tempat di mana aku tidak ingin mengenangnya, sepuluh tahun lalu. Ternyata, aku keliru.

Aku tidak berada di sana, tetapi di tempat asing yang tidak pernah kujeramahi di kehidupan sebelumnya. Sebuah gedung sekolah dengan arsitektur khas bangunan Indonesia dan berdinding biru. Kuarahkan pandangan ke setiap pintu di dekatku. Di atasnya terdapat papan nama yang merujuk nama kelas, sebuah sekolah dasar. Seperti kata Vanessa sebelum dia merenggut kesadaranku, aku tidak sendirian. Ada empat orang di sini, sama-sama kebingungan sekaligus berusaha menelaah semua ilusi yang tercipta. Pun Vanessa benar lagi, sistem di tahap ini sangatlah acak. Bahkan aku tidak menyangka bisa satu lingkup dengan dia.

"Kenapa kau juga bisa ada di sini?" tanyaku ketus seraya melayangkan tatapan sinis.

"Mungkin kita berjodoh," kata Krishna asal, tetapi tidak menghilangkan raut datarnya yang menyebalkan itu. "Aku juga tidak menyangka bisa satu lingkup denganmu. Rasanya seperti ada konspirasi di sini yang menginginkan kita bersama."

Indah tertawa hambar. "Bilang aja kalian senang bisa dipertemukan lagi. Enggak usah munafik. Baru dipisahin sebentar aja udah merengek. Gimana kalo pas mati coba?"

Lantas kukirimkan tatapan berkilat-kilat pada Indah, berharap dia bisa menutup mulut bedebahnya itu tanpa harus kulontarkan memorandum untuknya—yang rasanya seperti ingin menggembok mulut Indah lalu kuncinya kubuang ke Segitiga Bermuda. Untunglah aku tidak perlu melakukan hal itu. Kurasa Indah sudah mengerti makna tatapan berbisa yang baru saja kulemparkan untuknya.

"Maaf menginterupsi," ucap seorang laki-laki berambut oranye keriting, yang gaya rambutnya justru mengingatkanku pada Ed Sheeran. Dia Jacob Sanders dari kelas Matematika. "Adakah seseorang di antara kalian yang bisa menjelaskan di mana kita sekarang?"

Tidak ada yang menjawab, semua berkutat pada pemikiran masing-masing. Yang aku tahu, ini bukanlah ketakutanku atau setidaknya tempat yang menjadi saksi bisu di mana ketakutan terdalamku terjadi. Tiba-tiba, kudengar halus tapak kaki Indah menyusuri lorong ini perlahan, berhenti di dekat pintu terujung, dan mengusap lembut sisi dinding biru itu agak lama, seakan-akan memancing kembali ingatan lama. Embusan napasnya terdengar kasar seperti ingin membuang beban yang sudah lama ia pikul. "Ini sekolah dasarku dulu."

icon lock

Tunjukkan dukunganmu kepada Embers Butterfield, dan lanjutkan membaca cerita ini

oleh Embers Butterfield
@firefliesip
Bombshell Blonde telah mendapatkan seluruh senjata rahasia. Melati ha...
Beli bab baru cerita atau seluruh cerita. Yang mana pun itu, Koinmu untuk cerita yang kamu sukai dapat mendukung penulis secara finansial.

Cerita ini memiliki 42 bab yang tersisa

Lihat bagaimana Koin mendukung penulis favoritmu seperti @firefliesip.
5: Bombshell BlondeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang