SEKELEBAT memori terlintas di wajahku, menampilkan deretan kilas balik yang justru membangkitkan ingatanku tentang suara itu. Aku masih ingat bahwa aku berdiri di ambang pintu kamar dengan kerutan menghiasi dahiku, mendapati seorang lelaki yang tingginya sekitar 182 senti tengah menggantungkan ransel ke pundaknya. Dia melempariku seulas senyum manis saat itu. Sepasang netra safirnya tampak berkilau di bawah cahaya lampu. Aku ingat percakapan terakhir kami sebelum dia pergi dari kota ini untuk menghadiri seminar. Rupanya, dia tidak benar-benar pergi. Tidak ada seminar yang ia bilang. Dia berpura-pura pergi untuk merancang skenario ini, menyeret kami ke sini, dan tanpa sengaja memasukkan kami dalam fabulanya.
"Hei, kenapa buru-buru? Kalian 'kan baru sampai. Masa kalian tega meninggalkanku sendirian bersama pria tua jelek ini?" Ia melontarkan kalimat-kalimat itu langsung dari bibirnya dengan nada jenaka khasnya, yang terkadang mampu membuat semua orang tergelak.
Perasaan cemas yang sempat merundungku kini sirna, digantikan keterkejutan. Dalam kegelapan, samar-samar kulihat dua sosok hitam bertandang dari arah Gapstow Bridge, melangkah santai alih-alih mengejar kami seperti menangkap maling yang kabur selepas merampok dari toko perhiasan.
Siluet-siluet itu perlahan menampakkan wujud aslinya saat kilauan lampu mulai menyoroti mereka dari atas ke bawah. Secercah cahaya bulan menyelinap dari celah dedaunan dan jatuh menimpa rambut putih milik salah seorang dari mereka. Aku mengenal rambut itu dan gayanya yang justru mengingatkanku pada salah satu tokoh animasi.
Jackson Prescott Frost, aku lebih suka memanggilnya Jack, datang dengan senyum sepuluh senti berkibar di paras tampannya. Tangannya melambai-lambai girang seiring ia melangkah. Seolah ia baru saja kembali dari perjalanan jauh dan menemukan kami di antara kegelapan untuk menjemputnya. "Hai, penggemar!" sapa Jack riang.
"Berhenti bersikap seperti anak kecil, X06. Ingatlah usiamu." Pria yang datang bersama Jack itu pun mengingatkan, bertekad mendapatkan kembali kewibawaannya setelah dihancurkan Jack tanpa sengaja.
"Aku 'kan memang masih muda, liar, dan bebas. Tidak sepertimu yang sudah tua, jinak, dan terkungkung. Ingat usiamu ya," Jack berkilah sesekali menepuk pundak si pria penuh simpati.
Si pria pun mengangkat sebelah bibir, menderaikan tawa terpaksa dan mengirimi Jack tatapan siap membunuh. "Aku bersumpah akan menendang bokongmu kalau kau masih berani mengataiku tua."
Kubuka mulut ingin bicara, tetapi yang terjadi tidak ada sepatah kata pun terlontar dari bibirku. Seakan kata-kata itu tertelan kembali dan menyangkut di tenggorokan seperti sebuah batu dan batu itu tidak ingin keluar meskipun aku sudah bersusah payah mengeluarkannya. Di saat yang sama, kulontarkan pandangan pada pria yang datang bersama Jack, mengamatinya dalam jarak yang lebih dekat. Pria itu lebih tinggi beberapa senti dari Jack, berusia kira-kira 25 tahun jika kuterawang dari guratan wajahnya. Dalam keremangan, paras dan rambut si pria mengingatkanku pada Liam Hemsworth saat memerankan peran Gale Hawthrone dalam film The Hunger Games. Ada kerutan tipis tercetak di sana, tetapi hal itu tidak membuatnya tampak lebih tua, seperti yang kubayangkan saat ucapan Jack melambung dalam benakku bagaikan cakram yang dilempar. Jangan lupakan cambang bauk tipis yang menghiasi dagunya, yang membuat penampilannya terkesan maskulin.
"Alex, bokongku ini tidak semenarik dan sebesar Tom Holland. Dia tidak suka ditendang," papar Jack seraya melontarkan senyum kecut ke pria yang ia sebut Alex itu.
"Diam! Semuanya diam!" tiba-tiba Krishna menginterupsi, suaranya berubah dua kali lebih keras dari pelantang masjid dan itu cukup untuk menghentikan debat kusir antara Jack dan Alex. "Jangan ada yang bergerak, berbicara, atau bernapas. Biarkan aku mencerna semua kekacauan ini." Air muka serius dengan lipatan-lipatan di dahi masih terpasang di wajahnya. Krishna bergeming, bergelut dengan pikirannya, dan berkata lagi, "Kau yang mengirim surel itu. Kau sebenarnya tidak pergi ke Washington dan merancang semua ini. Iya, 'kan? Apa tebakanku salah?"
Lagi-lagi Jack menyeringai, memamerkan barisan gigi putihnya nan rapi. Jemarinya menjentik. "Ding dong! Selamat Anda berhasil mendapatkan satu juta dolar!"
"Kukira sekarang aku berada di studio televisi Who Wants to Be a Millionaire? Lalu, melihat Krishy memenangkan grand prize senilai satu juta dolar." Aku bisa mendengar Indah mencerocos, sedikit mencondongkan tubuhnya padaku.
"Krishna," koreksi Krishna sedikit muak. Aku tidak tahu kenapa dia bisa begitu benci dengan panggilan itu. Seolah itu sebuah panggilan yang memalukan untuknya dan entah kenapa pula mendadak telinganya bisa jadi setajam itu. Padahal biasanya dia yang paling tuli di antara kami.
"Ya, oke! Mau namamu Krishna, Krishy, atau Kristen Stewart, aku tidak peduli. Aku akan memanggilmu sesuai apa yang terlintas dalam pikiranku," balas Indah tidak kalah sengit.
Krishna mengangkat bahu acuh tak acuh. "Kalau begitu pikirkan Leonardo DiCaprio saat kau ingin memanggilku."
Indah tergelak hambar dan mengibaskan tangan sebagai tanda bahwa dia tidak akan sudi memanggil Krishna dengan sebutan Leonardo DiCaprio. "Om Leo," begitu katanya masih terbahak getir, seperti melihat ironi dramatik. Seketika dia melontarkan pandangan menusuk ke lelaki itu. "Jangan banyak bermimpi!"
"Kenapa kau menyuruh kami kemari di saat semua orang terlelap?" Aku melipat tangan, mengajukan pertanyaan, dan berusaha membangun kembali topik itu.
Sorot mata Jack tampak lebih menusuk dari sebelumnya. Pun aku bisa merasakan aura yang berbeda terpancar di setiap lekuk tubuhnya, berbisik lembut padaku seperti memberi tahu sebuah pertanda yang sebentar lagi akan datang. Jack membuang napas gerah. "Kami sudah mendapatkan hasil tes kalian."
"Tes?" Pikiranku keruh.
"Tes psikologi dan akademik kalian pagi ini," tukas Jack tanpa tedeng aling. "Selamat, kalian lolos di babak pertama."
"Aku tidak mengerti."
"Sekolah kita berada dalam naungan sebuah organisasi independen yang bergerak dalam bidang spionase, Spectre. Setiap tahun kami memilih lima kandidat di setiap kelas melalui tes ini untuk mendapatkan bibit-bibit unggul yang mampu menjadi seorang intel berkualitas," papar Alex serius.
"Wow," hanya itu komentar Indah setelah Alex menjelaskan seperti guru sejarah soal asal usul sekolah menyelenggarakan tes sialan yang bisa membuat kepala pecah, "aku seperti bermain dalam film James Bond. Apa itu namanya? Spectre? Ah, benar. Film itu buruk sekali. Itu kritikus yang bilang, bukan aku."
Jack berdeham, bermaksud mengembalikan pokok pembicaraan sebelum berakhir melenceng dari yang direncanakan. "Perkenalkan, Alex Howell. Panggil saja Alex, Howell, atau Pak Tua, terserah kalian. Dia guru pengampu di kelas Kimia. Ya, kalian mungkin tidak akan bertemu dan mendengarkan ceramah Pak Tua ini tentang unsur-unsur kimia selama di kelas, tapi dia akan menjadi pengawas selama ujian berikutnya."
Aku mengernyitkan dahi. "Ujian?"
"Ya, ujian," sahut Jack mantap. "Kalian akan diseleksi lagi dan kalian harus melawan kandidat lainnya demi memperebutkan kursi di badan itu. Tahun kemarin kami hanya membuka satu kursi. Entah kalau tahun ini. Kebijakan bisa saja berubah."
Kini semua kabut kebingungan yang sempat melanda otakku perlahan beringsut, digantikan kelegaan yang melimpah. Jadi, itu alasannya kenapa sekolah melaksanakan ujian bedebah itu. Rupanya untuk merekrut anggota baru. Aku pernah mendengar desas-desus tentang gerakan organisasi rahasia yang acapkali menyelimuti atmosfer setiap lorong di sekolah. Orang-orang di lingkupku percaya bahwa sekolah ini didirikan oleh seorang petinggi yang bekerja di Departemen Keamanan Dalam Negeri Amerika Serikat dan diam-diam membangun sebuah badan yang bergerak dalam bidang spionase, setingkat dengan CIA. Kabarnya, badan itu turut andil dalam menjaga stabilitas negara, secara rahasia, seperti hantu. Tidak banyak orang yang tahu-lebih tepatnya tidak ada yang tahu. Seolah itu hanyalah kabar burung semata, yang nilai kebenarannya nyaris mendekati limit.
Saat itu, aku bukanlah termasuk orang yang percaya pada kabar itu. Akan tetapi, dengan mendengarnya sendiri dari anggota badan itu, perlahan kepercayaanku akan desas-desus yang sering menjadi buah bibir orang-orang di sekolah pun tumbuh. Ketika Alex berbicara lagi soal organisasi itu, aku mulai membangun sebuah asumsi yang bakal meyakinkanku selama menjalani ujian berikutnya, bergabung dalam organisasi Spectre dan berbaur di dalamnya. Ternyata, aku keliru.
KAMU SEDANG MEMBACA
5: Bombshell Blonde
ActionBombshell Blonde telah mendapatkan seluruh senjata rahasia. Melati harus berusaha merebutnya kembali dan menggagalkan rencana Blonde sebelum para petinggi negara terbunuh. ***** [ BOOK ONE ] Cyclone, sebuah senjata rahasia mematikan, telah dicuri se...
Wattpad Original
Ada 3 bab gratis lagi