EPILOG

89 14 12
                                    

Sudah sebulan semenjak insiden di Kompleks Pattimura, rumah nomor sepuluh. Kala itu, polisi segera datang ke lokasi tiga puluh menit setelah pertarungan berakhir. Mereka menemukan banyak hal untuk diselidiki.

Tirto, Raditya, dan Buto dilarikan ke rumah sakit. Luka mereka semua cukup parah, terutama Buto yang mengalami pendarahan hebat. Pihak rumah sakit yakin nyawanya takkan selamat. Namun, siapa sangka pria itu masih bisa tersenyum di kemudian hari.

"Bapak!" Maman memeluk ayahnya yang penuh perban.

Pertemuan kedua setelah malam itu. Rupanya mereka masih punya kesempatan untuk bertatap muka. Dan, kali ini Rani mengajak suaminya.

"Kau orang yang beruntung," ujar Buto sembari melepas senyum tipis. "Tolong jaga mereka."

Akhir bahagia yang tak terduga mengisi kehidupan mereka. Meski tak bisa bersama lagi, Buto bersyukur kedua anaknya bisa bahagia, dan melihat mereka tumbuh suatu saat nanti.

Di sisi lain, tepat hari kelima masa rehabilitasi Raditya, Profesor Banu datang berkunjung. Ia bilang markas rahasi Thrill telah diambil alih pihak kepolisian. Namun, saat penggrebekan, tempat itu sudah kosong. Kelihatannya anak buah Thrill sudah lebih dulu kabur.

Selain itu, ia meminta maaf kepada Raditya karena tak mampu menjaga rahasia Marwan. Dirinya yang dalam ancaman kala itu, terpaksa membocorkan perihal serum supervoid dan letak lab rahasia.

"Satu lagi. Aku tak tahu apa yang salah pada dirinya, tetapi Marwan seolah mampu meramalkan masa depan. Ketika kami berencana kabur, ia minta agar aku tetap tinggal di bungker Thrill. Katanya, salah satu dari kami akan terbunuh dalam pelarian." Banu mengela napas. "Ternyata benar. Demi melindungiku, Marwan menperkecil kemungkinan tersebut dengan kabur sendirian."

"Pak Marwan orang yang hebat. Dia berkontribusi besar dalam penyelesaian masalah ini," komentar Tirto. "Aku menyesal tidak memberitahumu, Nak Raditya. Padahal, aku...."

"Sudahlah, Pak Tirto. Kematian ayahku bukan salahmu. Lagi pula, Thrill sudah mati. Kurasa kami impas."

Hubungan kakek yang kehilangan cucu dengan anak muda yang kehilangan ayah semakin erat. Sesuai janjinya, Tirto akan menjaga Raditya semampunya. Bahkan, ia juga berjanji pada dirinya sendiri untuk menjadi lebih kuat hingga mampu melindungi semua orang dari kejahatan.

~~o0o~~

Waktu berjalan begitu cepat. Tak terasa Raditya telah diizinkan keluar dari rumah sakit. Namun, dokter meninggalkan satu pesan yang amat menyakitkan.

"Di dalam tubuhmu ada semacam gumpalan daging yang dapat tumbuh sewaktu-waktu."

"Kanker?" terka Raditya, agak cemas.

"Mirip seperti itu, tapi bukan kanker. Pertumbuhan daging ini seolah dapat dikendalikan. Kami masih belum tahu lebih jauh. Barangkali, kanker yang dapat dikendalikan."

Meski dibilang begitu, Raditya tahu apa yang memengaruhi pertumbuhan daging tersebut. Ya, kemampuan supernya. Kekuatan yang membuatnya mampu menyerap energi apa pun. Itulah alasan Raditya enggan menggunakannya secara berlebihan.

Tak perlu ambil pusing dengan penyakit yang bahkan dokter saja masih kebingungan. Setelah mendapat harta warisan dari kedua orang tuanya, anak itu bertekad melakukan sesuatu.

"Para Punggawa Bumi?" Dahi Tirto mengernyit.

"Keren, 'kan? Aku akan membangun gedung besar di pusat kota. Dengan begitu, kita bisa membasmi kejahatan dalam satu organisasi. Selain itu, aku juga membiayai para ilmuwan untuk merampungkan formula penawar serum supervoid yang ditulis ayah."

Kaki SaktiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang