15. Senyuman Devan

4.6K 298 0
                                    

Menahan derita rindu ini akan lebih pedih daripada setiap luka yang pernah kurasakan.

***

Setelah mendengarkan ucapan Havis, Devan langsung membalikan arah menuju rumah Fanya. Kecepatannya yang di atas rata-rata membuat Devan datang lebih cepat. Ia langsung membuka gerbang rumah Fanya yang tidak di kunci.

Kebetulan juga pintu rumahnya tidak di kunci, ia bisa dengan mudah masuk begitu saja. Ia menaiki tangga dengan cepat. Sesampainya di depan pintu kamar Fanya, ia menghela napas terlebih dahulu.

Devan membuka pintu kamar Fanya dan mendapati cewek itu sedang mengigil di atas kasur. Ia mulai mendekati Fanya lalu memegang dahinya dengan punggung tangan Devan. Panas.

Fanya yang sadar di pegang dahinya oleh seseorang, membuka matanya perlahan. Devan tersenyum hangat membuat Fanya merasa senang, sekaligus kecewa.

"De-van?" Fanya tidak percaya di sampingnya ini adalah Devan. Kalau memang ini mimpi, jangan bangunkan Fanya. Ia senang di temani Devan.

Devan mengelus rambut Fanya dengan penuh kasih sayang, senyumannya masih sama. "Kenapa kamu gak langsung telepon aku?"

Fanya memaksakan diri untuk tersenyum, ia senang mendengar Devan menyebut dengan 'kamu'.

Devan mengambil tangan kanan Fanya kemudian menempelkannya ke dada kirinya. "Ini yang aku rasain setiap deket sama kamu. Jangan menghindar lagi, maaf untuk yang kemarin. Oh iya, Aku gak suka kemarin kamu deket sama Havis."

Fanya meneguk salivanya susah payah. Ia merasa detakan jantung Devan begitu cepat hingga berefek padanya juga.

"A-aku seneng ka-kamu datang kesini." Itulah yang bisa Fanya ucapkan, lidahnya terasa kaku untuk berbicara.

Devan menangkup wajah Fanya dengan kedua tangannya, memaksakan untuk menatap. "Liat aku, menurut kamu apa aku bohong kalau aku sayang kamu? Kalau kamu gak percaya, apa yang harus aku lakuin? Hm?"

"Aku gak bisa berhenti mikirin kamu. Aku khawatir. Selama kamu menjauh, diam-diam aku ngikutin kamu. Jangan menghindar, aku sayang kamu. Aku sayang kamu. Akuㅡ"

Tanpa basa-basi Fanya langsung memeluk Devan. Memejamkan matanya sambil menitikan air mata kebahagiaan. Kalau Devan seperti ini terus, ia tidak bisa berhenti mencintainya.

"Makasih," ucap Fanya.

Di luar kamar Fanya, ternyata Havis dan Sandra menyaksikan kedua pasangan itu. Mereka hanya kurang terbuka satu sama lain, jadinya terjadi salah paham.
"Badan kamu masih panas, ayo ke rumah sakit!" ajak Devan.

"Gak usah, akuㅡ"

Tanpa persetujuan Fanya, Devan langsung menggendong Fanya sampai ke mobil.

"Eh? Sejak kapan lo di sini?" Devan bingung melihat Havis dan Sandra berada di rumah Fanya.

"Sejak lo ada di kamar, gue kesini sama Sandra khawatir Fanya kenapa-napa, eh ternyata lo dateng juga," ucap Havis.

Dalam hatinya, Devan juga khawatir dengan Karin. Namun, ia tidak boleh mengecewakan Fanya lagi. Ia hanya untuk Fanya seorang.

"Lo coba ke apartemen Karin, gue kirimin alamatnya lewat pesan," bisik Devan kepada Havis.

"Oke bro," kata Havis.

Devan mengendarai mobil dengan kecepatan sedang. Ia sesekali melirik kepada Fanya yang tertidur lelap.

Sesampainya di rumah sakit, dokter bilang Fanya harus banyak istirahat. Untuk dua hari saja Fanya di rawat agar panasnya cepat turun.

Attention [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang