Akhirnya aku sampai di rumah sakit yang ku tuju, tempat lelaki itu dirawat. Dengan seragam yang sudah berubah warna menjadi lebih gelap karena basah kuyup, aku memasuki bangunan itu. Aku tak tau, mengapa aku sekhawatir ini saat dia mengatakan bahwa ia membutuhkanku sekarang. Sampai-sampai aku rela menembus hujan dari luar rumah sakit yang memang jaraknya agak jauh dari bangunannya.
Kedua kakiku yang terbalut sepatu hitam melangkah menuju bagian administrasi. Aku menyatukan kedua tanganku, terkadang menggosokkan keduanya, berharap dingin yang menyapaku ini segera pergi.
Sembari menunggu antrean, aku melirik air conditioner yang ada di depanku, di bagian administrasi. Pantas saja aku merasa sangat dingin disini.
Kedua orang tua yang sebelumnya bertanya di bagian administrasi telah pergi, hatiku sesak saat melihat mereka menangis, apalagi sang ibu. Apalagi, tadi sempat kudengar bahwa anaknya kecelakaan dan sekarang tengah berada di ICU.
"Ada apa, dek?"
Aku sedikit tersentak, kemudian secepat mungkin mengontrol air wajahku dan kembali fokus pada perempuan yang tengah tersenyum manis kearahku. Aku yakin, dia yang bertanya kepadaku beberapa detik lalu.
Aku baru teringat.
Mampus!
Aku tak tau siapa namanya!
Bahkan ruangannya pun tak ia beritahukan padaku.
Tuhan, apa yang harus kulakukan agar aku bisa menemukannya?"Dek?" panggil orang itu sekali lagi.
Aku tergagap, bingung harus menjawab apa.
'Tring!'
From: +628536785xxxx
Kamu Savira? Maaf, adik temanmu ini tadi hanya bercanda. Saya mamanya. Dia tadi iseng mengirimimu pesan singkat yang mengatakan bahwa kakaknya sedang di rumah sakit pelita jaya. Maaf ya..Tante harap kamu sedang tak berada di rumah sakit itu sekarang.
Sekali lagi maafDahiku mengerut, dengan perlahan aku mundur dan menjauh dari bagian administrasi. Aku tak tau bagaimana respon perempuan yang bertugas di bagian itu. Yang pasti, sekarang otakku tak bisa berpikir jernih.
Aku langsung mendudukkan bokongku di kursi tunggu tak jauh dari tempatku semula. Kakiku mendadak seperti jelly, aku tak kuat menumpu berat badanku.
Kubaca ulang pesan itu dengan teliti kata per kata. Kuharap aku salah fokus dan salah membacanya tadi. Tapi, ratusan kali pun aku mengulanginya, isi pesan itu takkan berubah.
Memoriku mendadak memutar perjuanganku dari beberapa jam lalu. Mulai saat aku berpura-pura sakit agar aku bisa pulang lebih cepat, berdrama di depan teman sekelasku, meyakinkan bahwa aku bisa pulang sendiri, meminta izin dengan konyol di depan Pak Yanto, berjalan kaki berpuluh-puluh meter sampai mendapatkan angkot yang menuju Rumah Sakit Pelita Jaya, berusaha mengabaikan tatapan orang di angkot yang melihatku sebagai anak sekolah yang pulang lebih cepat dari teman yang lain alias bolos, menembus derasnya hujan, sampai aku kedinginan karena hujan dan suhu ruangan yanh terlalu rendah.
Mataku mendadak panas.
Aku merasa
Dipermainkan.
[]
Adakah yang lebih menyesakkan dari ini semua?
KAMU SEDANG MEMBACA
Photograph Diary
القصة القصيرةMenyebalkan. Itu yang pertama kali ku ucapkan kala bertemu denganmu. Sosok yang kesehariannya terus mengalungi kamera, seakan tanpanya kamu tak bisa apa-apa. Namun, berkat kamera itu, kita pernah menjadi amplop dan perangko. Kita pernah menjadi dua...