(2). ugh... class?

88 33 8
                                    

Kinan POV

Setelah dijemur di lapangan selama 30 menit, gue akhirnya diijinkan masuk kelas, beruntung kelas gue pada saat itu lagi jam kosong.

"Cie, yang habis ngapel Pak Trisilo!"
"Woi kiri kanan-kiri kanan! Telat mulu lo! Naksir sama Pak Trisilo ya?"
"Mampus, makin item dah lo,"

Oke, siapa yang bilang kalo anak IPA lebih anteng daripada anak IPS? Aduh pembohongan publik banget. Kelas gue ini kagak ada diem-diem nya.
Kelas 12 IPA 6, yang katanya isinya anak-anak pintar ini, well emang mereka semua pinter sih. Seenggaknya itu nilai positif dari kelas ini. 

Anak kelas ini kebanyakan mengelompok. Ini cuma kelas gue doang yang kayak gini, atau kelas lain juga iya, sih?

Dan selalu terbagi menjadi; yang ribut terus dan yang diem. Biasanya yang diem ini nih, yang apa-apanya harus dikerjakan tepat waktu, ngumpulin nggak boleh telat, dan jarang ngelanggar peraturan.

Gue? Gue masuk kategori tengah-tengah hehe.

Gue gak rajin-rajin amat, juga enggak males-males amat. Gue mengerjakan PR gue di rumah, meskipun  lebih banyak gue kerjakan di sekolah. Tugas? Gue ngerjain, kok. Tapi telat dikit gapapa lah ya, yang penting dikumpul.

Jujur awalnya gue nggak suka berada di kelas ini. Kelas unggulan.

Kelas unggulan menurut gue isinya anak-anak pintar dengan pulpen di tangan mereka yang siap digunakan untuk mencatat apapun yang diucapkan oleh guru. Opini gue semakin diperkuat saat gue mulai berada di kelas 11. Dulu gue ada di kelas 11 IPA 5, satu dari dua kelas unggulan di sekolah gue.

Datar.

Kata itu mendeskripsikan kelas 11 IPA 5 awal-awal masuk.

Anak kelasnya rajin banget, buset.

Gue agak kesulitan mengimbangi mereka, karena dulu saat gue kelas 10, nggak ada yang namanya kelas unggulan, karena saat itu belum ada. Kebetulan gue ada di kelas 10 yang katanya, dan emang benar adanya, kelas yang paling nggak disukai sama guru.

Bahkan Pak Nato guru agama Islam sekaligus Bidang Kesiswaan yang sabar banget dan hampir nggak pernah marah, sampai menggebrak meja salah satu siswa di kelas gue, Ibra. Salah Ibra juga sih, dia cari masalah sama Hana yang emang tukang ngadu banget. Ya, jadilah si Hana ngelapor ke BK.

Juga, gue nggak akan lupa dengan drama kelas 10.

Dimana banyak banget anak yang nangis, dan beberapa karena si Ibra. Ibra ini sayton banget emang.

Tapi kalau nggak ada Ibra, kelas 10 gue akan datar macam muka Pak Trisilo kalau lagi mengawasi gue hormat sama bendera.

Wajar dong gue sempet nggak bisa adaptasi dengan keadaan kelas 11 IPA 5?

Sepi banget coy ini kelas.

Saking nggak bisa adaptasinya, kalau yang lain melontarkan candaan, disaat yang lain ketawa, gue cuma memasang wajah bingung.

Apanya yang lucu?

Mungkin ini karena gue nggak dekat sama mereka, gue nggak mengerti dimana letak kelucuannya.

Masa-masa kelas 11 malah gue habiskan dengan bermain ke kelas sebelah, 11 IPA 6—kelas unggulan juga—setiap istirahat, karena disana ada teman main gue, Raina dan Mala.

Iya, se-nggak bisa itu gue beradaptasi di kelas gue sendiri, sampai main aja gue ke kelas orang terus.

Gue malah lebih sering menghabiskan waktu di luar kelas.

Kembali lagi dengan topik awal, gue yang sempat berpikir bahwa kelas 12 ini bakalan sama kayak kelas 11. Gue berpikiran seperti itu karena anak-anak 12 IPA 6 ini kebanyakan campuran dari anak kelas 11 IPA 5 dan 6 dulu.

Tapi, gue salah.

Kelas ini berbeda. Kelas ini lebih ramai. Gue bisa beradaptasi meski awalnya sangat awkward, dengan bantuan Raina dan Mala—kita bertiga satu kelas sekarang—tentunya.

Bahkan sekarang gue dekat sama Naya. Teman sekelas gue dulu waktu kelas 11. Gue kinda menyesal sih, kenapa waktu kelas 11 gue nggak mencoba dekat sama teman kelas?

Terlepas dari semua itu, gue senang berada di kelas ini.

"Ssst, jangan berisik dong, nanti Kinan denger. Ini tasnya lagi gue cantolin, nih." Samar-samar terdengar bisikan lelaki—sebenarnya cukup keras, untuk disebut bisikan—yang nampak kesusahan 'memasang' tas gue di dinding atas papan tulis.

Lupakan apa yang barusan gue bilang. Gue sebal dengan kelas ini.


°°°

LAKUNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang