4. hari ketiga: bagian B

1.1K 208 160
                                    

Jakarta,
9 Oktober 2016

➢➢

sekarang gue udah duduk di bangku penumpang, di samping luke. ya, kali ini dia yang jadi supir. gue nggak tahu kemana arah tujuan kita kali ini. dengan hanya bermodal nekat dan cuma dikasih izin pergi maksimal tiga jam dari ayah, gue menuruti permintaan luke.

tadi, untuk kesekian kalinya, luke berusaha minta izin dari ayah. mungkin luke punya jurus-jurus tersembunyi di wajahnya, entahlah, ayah akhirnya luluh juga. walaupun luke benar-benar bersusah payah untuk dapet izin dari ayah.

"sir, please please please i beg you. i'm gonna cry if you won't let me go with your daughter," rengek luke seperti bocah. "it's my last day in jakarta. i just wanna go out with her, sir. just...for, maybe, six hours? may i?"

"six hours? lo mau bawa anak gue kemana, tong?" sembur ayah pada luke.

buna langsung melotot ke arah ayah. "mas, jangan ngegas mulu napa, sih? kalo nggak boleh enam jam, ya, maksimal tiga jam aja."

"setengahnya, gitu?"

buna mengangguk cepat. "kasian juga brina. ini juga udah hari terakhir mereka bareng-bareng."

hari terakhir kita bareng-bareng, ya, luke?

"three hours. okay, you can only go with her for three hours." ayah menyuarakan keputusannya dan tentu saja luke menyetujuinya.

gue tahu ini hari terakhir dia di jakarta, pasti dia pengin buat hari ini berkesan. gue maklum.

"i bought you some roses here." luke memutar badannya ke jok belakang, mengambil sesuatu.

pun ia menyodorkan beberapa tangkai bunga mawar merah ke hadapan gue. nggak banyak, mungkin hanya ada tiga tangkai.

"sorry, i can only buy you three roses," katanya. "actually, i chose the best of the best." sambungnya, ngeles.

refleks, bibir gue terangkat ke atas dan melayangkan pukulan kecil ke lengan kekarnya. sebenarnya, gue sedang berusaha mencairkan suasana yang terasa tegang dan menyedihkan dari beberapa menit yang lalu.

"thank you, luke. you don't have to do this, though."

keadaan kota pada malam ini nggak terlalu macet, tapi padat merayap. mobil yang kami tumpangi bergerak perlahan, membiarkan gue menikmati keindahan langit malam ibu kota dengan pikiran yang entah kemana.

"honestly, i don't know where we're going." celetuk luke begitu saja, membuat gue melotot ke arahnya.

jadi, daritadi kita duduk di mobil dengan arah dan tujuan yang nggak jelas? bahkan, luke sendiri nggak tahu mau kemana. astaga, tau gitu gue nggak ngeiyain ajakan manusia yang satu ini.

"sumpah ya, luke. lo udah berargumen sama ayah dengan susah payah buat ngajak gue keluar, terus sekarang lo nggak tahu tujuan kita kemana?" gue ngomel pake bahasa indonesia biar dia nggak ngerti artinya.

luke hanya berdecak sambil mengetuk-ketukkan jemarinya di kaca mobil. "i'll be quiet. because i don't understand what you just talked about hehehe."

"anjir," umpat gue gemas. "take me home. i don't want anyone to see me with you." gue melipat kedua tangan di depan dada, menghela nafas kesal.

luke yang tampaknya nggak kalah frustasi lagi-lagi hanya bungkam. dia memilih untuk fokus pada jalan raya ibu kota, meninggalkan gue yang masih bertanya-tanya; sebenernya dia mau ngapain?

tapi, rasa penasaran gue akhirnya kandas karena mobil berhenti di suatu tempat yang nggak asing bagi gue. pandangan gue menyebar, mengamati setiap titik tempat ini, daerah kebon sirih. tempat di mana gue dan luke pertama kali dipertemukan tanpa sengaja.

tiga hari | luke ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang