Pulang

7.4K 236 14
                                    

Alia's POV

Kami berdua (bertiga setelah Hana berjanji akan membelikannya batagor Mang Edi) sibuk memasukkan buku-buku ke dalam rak. Aku melirik pada Echa, melihat Lalu, aku melirik ke arah Hana, melihatnya memasukkan buku-buku dengan cepat dan rapi, tanpa jeda sedikitpun. Tatapan dinginnya fokus memasukkan buku-buku tersebut ke tempatnya.

Saat aku naik satu anak tangga, aku kehilangan keseimbangan tubuhku. 

"Ahhhhhhh---!" Sebelum punggung dan pantatku yang semoq nan montoq ini menyentuh lantai dingin nan keras, sepasang tangan lembut menopang tubuhku. Aku menoleh, melihat yang menopangku tak lain dan tak bukan adalah....

"IH GUE KIRA HANA!" Teriakku dengan suara pelan (hayo bingung kan, teriak tapi suaranya pelan, gimana tuh?). Sementara itu, Hana sibuk menyelamatkan buku-buku yang hampir saja terjatuh dari tanganku.

"Yaudah si yang penting maneh teu jatoh," ucap Echa sambil melepaskan tangannya. Aku mendengus, mendelik ke arah Hana. "Kenapa malah buku-bukunya si yang diselametin?!" tanyaku kesal.

"Kan udah ada Echa. Lagian buku-buku ini tuh mahal. Kamu punya uang, belum tentu bisa terbeli," balasnya datar. Dia memang benar sih, perpustakaan di sini jauh lebih lengkap daripada perpus sekolah lain. Bahkan banyak buku-buku lama yang tersimpan di sini. Aku masih tidak mengerti mengapa Ayah menghabiskan uangnya untuk mengisi perpustakaan yang ada di sini, dan bukan perpustakaan pribadi yang ada di rumah.

"Oh gitu? Jadi buku-buku itu lebih berharga daripada gue?!" tanyaku dengan nada penuh drama, sambil melipat kedua tanganku. Ia hanya menghela nafas, sambil memasukkan dua buah buku ke dalam rak.

Tak lama, terdengar dering telepon. Kami berdua menoleh, melihat Echa menggenggam ponselnya. "Yah, sorry gais, aku mau pulang dulu, udah ditungguin nih! Baibai~!" ucapnya sambil menunjukkan layar ponselnya. Aku berdecak kesal saat melihat siapa yang menelepon. Icha.

Aku memasang wajah memelas, sambil melemparkan kedua tanganku ke pundaknya. "HUEEEE ICHAAAA NANTI GUE KANGEN DONG SAMA LUUU. JANGAN PERGI TINGGALIN ENENG MASSS!!" ucapku sambil pura-pura terisak, yang langsung didiamkan sama Hana.

"Sut udah. Nanti kan lu bisa berduaan sama ayang," bisik Icha di telingaku.

"Dia mana ada ayang gue anjir? Tapi iyasi dia canci, hihi." Icha menggulirkan bola matanya, dan melepas dirinya dari pelukanku.

Setelah mengucapkan sampai jumpa, aku dan Hana kembali memasukkan beberapa buku. Tak lama, Pak Beni muncul lagi membawa beberapa buku. Sampai-sampai kumisnya yang seperti sapu ijuk itu tertutup oleh tinggi tumpukan bukunya.

"Oh? Hana, kamu teh belum pulang?" tanya Pak Beni sambil menaruh tumpukan buku itu di meja sebelah rak buku di mana kami berdiri.

"Belum, Pak. Ini masih menunggu rapat." Aku melirik jam. Ternyata masih jam dua siang. "Sambil menunggu, saya diminta untuk membantu Amanda menjalankan hukumannya di perpustakaan." Pak Beni mengangguk, dan ia mendelik ke arahku. Aku balas memasang wajah  dengan ekspresi yang seolah mengatakan 'apaan?' ke arahnya.

"Kamu jangan nyusahin Hana ya! Bisa-bisanya kamu baru masuk udah bikin susah ketua OSIS aja!" Aku menggulirkan bola mataku. "Ya udah, cepet balik kerja sana kamu!" ucapnya sambil pergi meninggalkan kami berdua.

Aku mendengus kesal. Tapi aku mendengar suara seseorang terkekeh. Aku melirik, melihat Hana menyunggingkan senyum. Oh, jadi ni anak bisa senyum? Kukira mukanya sedingin dan sekaku es batu. "Apa lo ketawa-ketawa?" tanyaku sambil mendengus makin keras.

"Ah...? Tidak, tidak. Wajahmu menggemaskan saat kamu kesal begitu," ucapnya sambil membalikkan tubuhnya, sehingga punggungnya menghadap ke arahku. Aku bisa merasakan pipiku memanas. Apa maksud dia tiba-tiba bilang kalau aku imut?!?!

"Ih--tunggu--" Ia tidak menunggu, malah langsung berjalan ke rak buku lain. "Kalau kamu kelamaan, aku akan lapor ke Pak Beni kalau kamu malah berleha-leha." Aku mendengus. Perempuan ini--!

"Iya iya! Kejam banget sih jadi orang!" seruku kesal, sambil menyusulnya, dengan membawa separuh dari tumpukan buku yang sudah ia ambil 

*-*

Aku tidak tahu berapa jam sudah berlalu. Buku-buku yang berjejer ini membuatku sangat muak. Bahkan beberapa membuatku batuk-batuk karena sangat berdebu. Ish, apa Pak Beni tidak membersihkannya? Apa tidak ada orang yang membersihkan?!

Kadangkala aku mencuri pandang pada Hana. Ia hanya menatap barisan buku yang berjejer, sambil melipat kedua tangannya. Kadang tangannya mengambil salah satu buku secara acak (dari yang kulihat, ia lebih sering mengambil buku-buku usang yang mungkin akan hancur kalau kamu pegang terlalu lama), dan membaca isinya sekilas, sebelum menaruh buku itu kembali ke tempatnya. Ia akan terus diam di sana, sampai aku selesai merapikan buku di satu rak, lalu berpindah, seolah menyuruhku untuk mengikutinya.

Saat aku sedang sibuk memasukkan salah satu buku ke dalam rak, aku mendengar suara yang membuatku lega (biasanya sih engga, tapi sekarang ya gitu deh).

"Saya mau pulang. Amanda ga usah kerja lagi. Tapi besok kamu harus ke sini lagi ya!" ucap Pak Beni sambil mendelik, yang kubalas dengan guliran bola mata. "Oh ya, Han. Terima kasih ya, sudah mau membantu Bapak. Kamu memang bisa diandalkan!" Hana hanya membalasnya dengan sebuah anggukan. Cih, padahal 'kan aku yang dari tadi kerja!

Kami berjalan berlawanan arah. Pak Beni ke arah kanan, aku dan Hana ke kiri. Kami berdua tidak berbicara sama sekali. Sebenarnya, aku merasa tidak nyaman, tapi ia seolah tak peduli. Tak lama, ponselku bunyi.

"Hal--"

"Li, sorry gue ada bimbel hari ini, lupa liat jadwal. Jadi gue ga bisa jemput lu. Lu bisa pake ojek aja ga?"

Aku mendengus kesal. Baru ngasih tau sekarang. Mana aku niatnya mau top up lagi. Habis sudah uangku untuk beginian. "Ish. Yaudah. Sana lu les, udah gila emang, baru mulai sekolah udah les lagi aja."

Lexa hanya tertawa, lalu mematikan telepon. Huft, anak itu kalau ambis, terlalu ambis deh. Suka heran. Aku mendongak, melihat Hana yang sedang menatapku. Walau ekspresinya datar, aku melihat... kekhawatiran? Mungkin sih, kekhawatiran di matanya.

"Itu kenapa?" tanyanya. Aku males mau jawab... tapi ya sudah deh, dia juga terlihat khawatir.

"Ini, Lexa ga bisa jemput. Katanya ada bimbel. Gila emang anak ambis banget. Calon-calon penerus lu sih." Aku langsung berhenti, saat aku sadar apa yang baru saja aku ucapkan. Hana terlihat sedikit kaget, tapi cepat-cepat ia tutupi lagi dengan ekspresi datarnya itu. ERRRGGHHH. Kita berdua terdiam. "Errr jadi gue bakal pesen ojek online aja sih--"

"Biar aku saja yang antar." Hah? Serius? Demi ape? WHOOOTTT???? APAKAH INI CERITA WATTPAD?!?!

"Eh, errr-- gausah--" KENAPA LU MALAH NOLAK??!?!??! ANJIR GUE GOBLOK BANGET. PELUANG KAYA GINI MALAH DITOLAK.

"Sudah, cepat masuk. Boros juga kan kalau malam-malam begini pesan ojek online?" Aku terdiam. Ya Tuhan, rasanya seperti dapat bidadari jatuh dari surga. EH. SADAR LI. DIA MASIH NYEBELIN. N Y E B E L I N.

Tapi karena aku masih tahu diri, aku hanya diam, dan berjalan mengikutinya menyusuri parkiran mobil. Sebenarnya, sekolah ini tak membolehkan muridnya menyetir mobil, tapi pengecualian untuk anak-anak OSIS, berprestasi (baik itu akademik atau di luar akademik), dan, tentu saja, top ten donatur terbanyak sekolah. (Iya itu aku maksudnya, yang ketiga, hihihi.)

Akhirnya, kami berdua sampai di mobilnya Hana. Aku kurang memperhatikan mobilnya jenis apa, hanya tahu kalau itu mobil Porsche. Ia membukakan pintu penumpang untukku. Saat aku akan mendaratkan pantatku ke kursi, aku melihat sebuah lembaran kertas yang terbalik di atas kursi penumpang. Tentunya karena aku kepo, langsung saja kuambil kertas itu.

Eh... ini kan...?

"Terrence...?"

Troublemaker X Ketua Osis (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang