Chapt*5

202 7 1
                                    

Aku mencoba untuk terus membuka mataku, tapi entah kenapa hanya membuka mata saja terasa susah bagiku. Kelopak mataku seakan-akan memiliki beban yang berat hingga aku susah untuk membukanya.

"Apa dia belum sadar Dok?" tanya seorang lelaki.

"Sepertinya belum, tapi sebentar lagi dia akan sadar" kata seorang pria, sepertinya dia yang di panggil Dok tadi oleh lelaki itu.

Aku hanya bisa mendengar percakapan mereka, tapi aku belum bisa membuka mataku.

Baiklah, sekarang aku seperti orang yang tengah menguping pembicaraan mereka.

Aku mendengar suara derapan langkah menjauh dan decitan pintu yang terbuka lalu di tutup lagi.

'Apa mereka sudah pergi? Dan sebenarnya aku dimana?'

Tidak lama kemudian aku mendengar suara orang masuk ke dalam ruangan ini.

"Bagaimana keadaannya Kal? Apa di bilang dokter tadi?" tanya seorang gadis, suaranya seperti milik Syafani.

Apa itu Syafani?

"Sebentar lagi akan sadar. Gue mau pulang. Kalo dia udah sadar bilangin, gak usah sok jadi pahlawan" katanya begitu dingin.

Apa-apan tuh orang. Siapa yang sok-sok jadi pahlawan? Aku kan niatnya cuma mau melerai. Ya mungkin karna ini hari sialku lagi makanya aku kena bogeman dari si cowo cerewet tadi.

Tak ada jawaban dari Syafani dan aku mendengar suara derap kaki yang mulai menjauh. Dan sepertinya lelaki itu sudah pergi.

Untuk yang kesekian kalinya aku mencoba untuk membuka mataku.
Sedikit susah, tapi tidak sesusah tadi. Perlahan aku sedikit menerima sepercik cahaya yang masuk ke mataku. Hanya cat putih yang ku lihat di permukaan langit-langit bangunan ini. Dan aku baru sadar ternyata aku bernafas di bantu oleh oksigen.

Di rumah sakit huh?

"Rin, lo dah siuman?" tanya seorang gadis, nadanya seperti orang yang sangat cemas.

Aku melihat ke arahnya, dan benar saja. Dia Syafani. Wajahnya terlihat jelas kalau dia sedang cemas.

Padahal kita belum begitu dekat, tapi dia begitu khawatir denganku dan mau menjengukku.

Aku hanya tersenyum tulus kearahnya.

"Makasih dah khawatir" kataku pelan, sangat pelan mungkin hampir tak terdengar.

"Emmm, nggk usah ngomong dulu. Lo masih lemes banget" katanya.
Aku cuma mengangguk.

Selemah ini kah aku?
Aku tidak mau terlihat lemah di depan teman-temanku. Tapi sekarang aku malah menunjukkan dengan jelas kelemahanku.

"Lo tunggu sini yah, gue mau manggil dokter buat periksain keadaan lo" Syafani lalu pergi dari ruangan ini.

Tidak lama setelah Syafani keluar, kedua orang tuaku datang beserta abang kesayangan.

"Dek, siapa yang giniin lo hah? Berani-beraninya adek gue di giniin. Kalo gue dapet, gue bikin bonyok tu orang" kata Bang Ris geram.

Aku cuma menggeleng-gelengkan kepala, maksudnya agar jangan memperpanjang masalah yang ada.

"Ssst, dah jangan di bahas sekarang Ris, Adek butuh istirahat" kata mama menenangkan bang Ris.

"Nanti kalo lo dah sembuh, lo harus cerita banyak ke gue Dek" kata bang Ris, aku mengangguk saja.

Dokterpun datang lalu memeriksa keadaanku.
"Bagaimana kondisi anak saya Dok?" tanya papa

"Anak bapak sudah mulai membaik, tapi masih harus di rawat beberapa hari lagi untuk memulihkan kondisi pernafasannya yang terkadang tidak stabil akibat tinjuan yang cukup kuat"

KORBAN 'Cinta Tak di Restui'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang