Bagian 1 - Nandini-ku Sayang

361 25 6
                                    

     Yah, seperti biasanya aku dan Nandini lama bersahabat. Kami berdua sering jalan berdua kemana pun yang aku mau. Sayangnya, wanita tua itu terlihat gugup bila ada di dekatku.

Awal aku bertemu dengan Nandini amatlah mudah. Maksudnya, pertemuan itu sering kali ada di film-film televisi—yaitu, di mana saat ia melamar kerja di kantorku. Karena secara umum aku adalah CEO perusahaan ternama di Delhi, India.

Saat itu aku ingat, Nandini datang ke kantor ini hanya untuk melamar kerja. Tapi walau ini awalan dia datang bekerja, dia terlambat!

Kulihat Nandini si wanita tua itu datang berjalan pelan masuk ke ruanganku, ruangan manajer.

Aku menatap sinis wanita tua itu, sesekali melihat jam tangan. “Ini sudah pukul sepuluh pagi, tapi kau sudah terlambat.”

“A-aku baru akan bekerja di sini.” Seperti yang kalian tahu, kata-katanya seperti bocah tidak lulus SD. Apa dia masih sekolah atau tidak? Kok, bicaranya aneh, ya? Hehe.

Aku bersandar di kursi, menghela napas sejenak, membuang pikiran negatif yang ada dalam diri wanita tua itu.

“Baiklah.” Aku bangkit dari kursi, berjalan menghampirinya. “Berapa umurmu?”

“Tiga-tiga, Tuan.” Wanita tua itu menundukkan kepala.

Heh? Tiga-tiga? Apa maksudnya? Apakah umurnya 33 tahun sekarang? Ah, aku berusaha mencerna jawabannya.

“Tiga puluh tiga, Nyonya, bukan tiga-tiga.”

“I-iya, aku tahu. Maafkan aku, Tuan.”

“Iya, iya, tidak masalah. Ini sudah biasa untuk pegawai kantor yang baru melamar kerja. Ngomong-ngomong, siapa namamu?”

“Nandini Sharma,” jawabnya. Oke, nama yang bagus.

“Sekolah tamatan apa?”

“Tidak sekolah, Tuan.”

Aku hanya bisa berkata dalam hati, Dasar wanita tua!

“Oke. Aku Kunal Prakash Singh. Kalau begitu, mari ikuti aku.”

Saat itu juga aku memperkenalkan beberapa fasilitas yang ada di kantor ini. Oke, semoga dia paham.

Selain memperkenalkan fasilitas, aku juga memperkenalkan dia pada sahabat-sahabatku yang bekerja di sini. Dan, saat itu juga Nandini bisa bekerja di sini.

Semenjak dia bekerja di sini, sikapnya berubah. Itu wajar buatku, karena Nandini sama sekali tidak sekolah tapi pandai memahami apa pun yang kujelaskan padanya.

Aku mendengar suara langkah high heels menuju kemari. Suara itu terdengar cepat. Hm, kurasa itu suara langkah kakinya Nandini menuju kemari.

“Tuan, Ishani ingin bertemu denganmu. Dia akan datang kemari.” Nandini terengah-tengah di ambang pintu.

Aku terkejut. Panik.

Aku menggeleng cepat, melambaikan tangan dengan cepat sebagai tanda enggan bertemu dengan perempuan itu.

Jangan, Nandini. Jangan, kumohon ....

Nandini tersenyum miring dia pergi meninggalkan tempat ini dan berteriak, “Shani, kata Kunal, kau diperbolehkan masuk!”

Sial!

Aduh, bagaimana ini?! Nandini tidak bisa diajak kompromi. Aku benar-benar tidak suka ini! Kutunjukkan ekspresi kecut sebagai tanda kepanikan jika ada orang yang menyebut nama ‘Shani’.

Tak lama kemudian, Nandini datang lagi kemari ... bersama Shani? Tidak!

Aku terpaksa bangkit dari kursi, harus tabah dan sabar menghadapi semua ini. Eh, seperti kehilangan mantan saja. Haha.

“Shani ingin bertemu denganmu, Tuan. Dia bilang—” Nandini belum menjelaskan.

“Ayo kita berbelanja!” Shani memeluk lenganku erat. Aku merasa kecut bila dekat dengan dia.

“Pacar baru, ya?” Nandini tersenyum miring seolah mau mengeledekku.

“Iya/Tidak!” Kami berdua bicara bersamaan; aku bilang “Tidak” sementara Shani meng-iya-kan.

Sial! Dalam hatiku.

“Eh, mana yang benar ini?” Nandini tampak kebingungan, melirik kami berdua. Dia tertawa.

“Sudahlah, Sayang. Tinggalkan saja dia. Ayo berbelanja!” Shani menarik tanganku.

“Tunggu sebentar, Shani.” Aku menahan diri, karena sebenarnya aku enggan jalan bersamanya.

“Ih, cepat!” Shani terus memaksaku dan menarik lenganku menuju luar ruangan.

Nandini harus ikut! Ya, harus! Supaya tidak takut bila dekat dengan Shani. Sebelum pergi, aku sengaja menggenggam tangannya. Dia yang awalnya terbahak-bahak menjadi bungkam karena tangannya kugenggam dan kutarik.

Kalian tahu? Kami bertiga berjalan seperti kereta api yang saling menggenggam tangan. Haha.

———

Unconditional LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang