9: The Nightmare

2.9K 157 0
                                    

Kami saling bertatapan lalu aku langsung berlari ke kamarku. Aku memegang bibirku dan tiba-tiba tersenyum. "Aish! Kenapa gue harus satu rumah! Kan awkward sekarang jadinya!"gumamku kesal.

Benar saja, kami bahkan tak mengobrol berhari-hari. Kami memasak makanan kami sendiri-sendiri dan melakukan semuanya sendiri.

Hingga suatu hari Andre mengetuk pintu kamarku. Aku membukanya dan kami saling bertatapan cukup lama. "Bokap lo nelfon gue, mereka udah nemuin orang yang ngedekor kamar lo. Lo mau ikut?"tanya Andre.

Aku mengangguk mantap.

"Oke. Gue tunggu di luar ya."ucapnya menutup pintu kamarku.

Akupun langsung bersiap-siap untuk pergi ke kantor polisi.

Akupun langsung bersiap-siap untuk pergi ke kantor polisi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku keluar dari kamar dan kami pun berangkat. Saat sampai di depan kantor polisi begitu banyak wartawan yang ada di depan. Andre harus memelukku bahkan menyembunyikanku di balik jasnya agar aku bisa lewat.

"Hai, sayang."ucap papa memelukku begitu tau aku datang.

Aku mengeratkan pelukanku, "Hai, paps."

"Pelakunya ketangkep lewat cctv halaman belakang om Burhan dan sekarang di ruangan interogasi. Kamu bisa liat di balik ruang kacanya ya."ucap papa sambil berjalan ke ruangan.

"Ngga, pah. Valerie mau masuk. Valerie bahkan mau minta waktu buat berdua sama dia."ucapku.

Papa terlihat berpikir sejenak lalu mengiyakan. Lalu sampailah kami di sebuah ruangan. Salah satu polisi membukakanku pintu dan aku masuk ditemani pengacara pelaku, papa dan Andre.

Aku duduk tepat di depannya dan ia langsung menyeringai seperti serigala yang bertemu mangsa. Ia lebih tua dariku sekitar lima tahun dengan kumis dan brewok yang menyeramkan. "Haloooo cantik."ucapnya.

Aku mencengkram kuat rokku dan berusaha kuat di depan semua orang. "Apa maksud lo ngelakuin ini semua? Apa ada orang lain? Siapa yang nyuruh lo ngelakuin semua ini?"tanyaku.

"Umm, Valerie,"ucap pengacaranya. "Klien saya, Reynold sudah menyesali perbuatannya dan meminta maaf karena sudah--"

"Gue ga menyesali."ucap Reynold santai. "Gimana? Lo takut? Gue denger lo bahkan pindah."ucapnya tertawa geli.

Aku menyesalinya. Aku menyesali sudah masuk ke dalam sini dan mendengar apa yang dikatakan orang gila di depanku.

Aku menatapnya tak percaya, "Lo psiko."ucapku kesal.

Ia justru tersenyum, "Nakutin lo dan bikin lo pindah, bikin mood gue seneng, sayang."

Aku tak tahan dan berdiri dari tempatku.

"Aaww, main-mainnya udah selesai nih? Dateng lagi ya cantik!"ucapnya saat aku keluar dengan papa dan Andre.

"Lo... gapapa?"tanya Andre saat kami semua di luar.

Aku berusaha tersenyum dan mengangguk.

"Papa mau ngobrol sama Andre sebentar ya, sayang."ucap papa berjalan agak menjauh dariku dengan Andre.

Aku mencari tempat duduk dan membanting tubuhku. Kakiku mendadak lemas. Aku tak tahu ada orang yang ingin menakutiku. Ini membuatku sadar aku akan membutuhkan bodyguard untuk sisa-sisa hidupku nanti.

"Hey."ucap Andre menghampiriku. "Bokap lo barusan pulang dan kita juga harus pulang. Yuk."ucapnya mengulurkan tangan.

Aku menggapai tangannya dan kami berjalan ke parkiran dengan saling bergandengan tangan.

Saat sampai di rumah, aku dan Andre langsung masuk ke kamar masing-masing dan semua kembali menjadi awkward atau tegang. Aku tak tahu situasi apa itu. Aku melihat sosial media dan berita tentang terorku sudah menyebar luas.

Aku mematikan hpku dan berencana tidur lebih dulu.

Aku bangun di pagi hari lalu keluar dari kamar. Aku mengecek kamar Andre dan ia masih tertidur. Tak lama aku mendengar bel rumahnya berbunyi, aku berjalan dan membuka pintunya. Namun, tak ada seorang pun di depan pintu dan hanya ada boneka plastik dan di area wajahnya di tempel dengan wajahku.

Boneka itu di gantung di depan pintu dengan sebuah tali mengikat di lehernya. Ada tulisan menggunakan darah di badan boneka itu, "Mati".

Aku mundur beberapa langkah dan menabrak sesuatu. Saat aku menoleh, aku melihat Andre memegang pisau dan menusukku tepat di dadaku.

"Aaaarrrggghhh!!!"

Aku tiba-tiba terbangun. Aku baru menyadari itu adalah mimpi, mimpi yang sangat terasa seperti kenyataan.

Andre masuk ke kamarku dengan penuh keringat dan menghampiriku. Aku mundur beberapa langkah ketakutan mimpiku akan menjadi nyata.

"Hey, its okay. Gue gaakan nyakitin lo."ucapnya perlahan mendekat.

"Gue mimpi... lo--lo bunuh.... gue.."ucapku akhirnya menangis.

Ia langsung memelukku erat dan membiarkanku membasahi kaus oblong putihnya. Cukup lama ia menenangkanku dan aku tak ingin melepasnya walau aku sudah tenang. Aku bahkan tak ingin ia pergi sedikit pun dari pandanganku.

"Umm, aneh ga sih kalo gue ga pengen lo pergi. Gue pengen lo ada di samping gue, jagain gue."

Ia tertawa kecil membuat kepalaku sedikit bergetar, "Itu cara lo nembak gue?"goda Andre.

"Ew! Gue ngga nembak lo."ucapku kesal.

"Trus? Lo benci sama gue?"

"Yaa, ngga juga."

"Jadi lo suka sama gue?"

"Umm--"

My Lovely BodyguardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang