"Maximus Septiano" panggil Pak Herdi yang masih membaca secarik kertas berisi nama-nama anak murid yang akan menjadi anak bimbingnya.
Aku memainkan jari-jariku dengan gugup. Gugup antara siapa wali kelas yang akan aku dapat, dan apakah aku sekelas lagi dengan Max?
"Ferrel Cahyadi, Getia Hemima, Cindy. Itu nama-nama anak bimbing saya, kalian bisa masuk ke kelas kalian masing-masing" ucap Pak Herdi sambil mundur dari podium.
Kecewa. Aku sangat kecewa sekali. Padahal aku sangat ingin Pak Herdi menjadi wali kelasku karna ia guru yang sangat baik dan sabar. Aku menghela napas pelan.
"Kali ini kita ga sekelas, kaget gue sumpah. Biasanya nama kita udah kayak ditakdirin buat sama-sama" ucap pria yang duduk disebelahku. Aku membalasnya dengan tatapan tajam.
"Gue ke kelas gue dulu" ia berdiri lalu menoyor kepalaku pelan. Aku masih menatapnya kesal dari belakang, ia lalu berbalik lalu tertawa pelan menatapku.
Ah.. Pria sialan itu..
Aku menunggu sampai semua siswa tidak ada di aula lagi, hanya aku sendiri yang tersisa. Aku menatap guru-guru bingung. Tidak mungkin mama belum mendaftar ulang sekolahku mengingat bagaimana cekatannya mama dalam mengatasi hal seperti ini.
Aku mengangkat tanganku hingga Bu Nadia menatapku heran dan bertanya, "Cellia kenapa kamu belum masuk ke kelas kamu?"
"Nama saya belum dipanggil sama sekali, Bu" ucapku. Bu Nadia, Pak Herdi, Pak Julian, Bu Demia dengan serempak membaca selembarannya lagi.
"Lha kamu kan di kelas saya, Cellia. Kamu gak denger ya?" ucap Pak Herdi. Aku mengerutkan dahiku pelan, jelas-jelas aku mendengar mereka dengan simak tapi Pak Herdi tidak menyebutkan namaku sama sekali.
"Lain kali dengarkan dengan teliti ya, Cellia. Jangan ngobrol terus" Bu Demia berbicara dengan nada ketusnya. Aku menghela napas pelan dan mengangguk kepadanya.
Tidak ada gunanya aku melawan Bu Demia. Toh faktanya guru memang akan selalu benar, kalaupun salah kita harus mengingat faktanya itu kembali.
Aku menenteng tas ku ke kelas XI-3 IPS. Saat aku membuka pintu kelas semua teman-teman ku heboh, terutama Maximus. Ia bahkan langsung berlari menghampiriku.
Ia tertawa kencang sambil memegangi perutnya. "Udah gue bilang kan, lo sama gue tuh udah ibarat nama yang ga bisa dipisah"
Aku menghiraukan ucapannya dan mencari tempat kosong. Max dengan tiba-tiba menarik tasku dan menaruhnya ke tempat dipaling belakang barisan tengah tepat disebelah tempat duduknya. "Selamat duduk disini nyonya. Mohon bantuannya" ucapnya tiba-tiba.
Aku menghela napas. Raut wajahku datar, namun dalam hatiku aku sudah melompat kegirangan. Ini benar-benar jackpot!
--
Tak lama setelah aku masuk ke dalam kelas, Pak Herdi masuk dan melakukan voting untuk pengurus kelas.
Mark mendapat voting terbanyak untuk menjadi ketua kelas, Christian mendapat voting terbanyak untuk menjadi wakil ketua kelas, Getia menjadi seketaris, dan Cindy menjadi bendahara. Sisanya? Hanya menjadi anggota.
Pak Herdi juga tidak mau repot-repot mengubah tempat duduk, jadi tempat duduk yang kami pilih sendiri ini menjadi tempat duduk permanen sampai kenaikan kelas nanti. Aku menyukaimu Pak Herdi!
Pak Herdi juga memberikan sedikit arahan untuk kami yang sudah kelas sebelas ini, lalu keluar kelas dan membiarkan kami bebas. Uhh.. Benar-benar menyenangkan punya wali kelas seperti Pak Herdi.
"Ly," panggil Maximus. Aku menoleh ke arahnya tanpa membalas apapun. "Lu bosen kagak sih ketemu gue terus, dari TK sampe SMA anjir" ucap Maximus.
Engga.. Bahagia malah..
"Bosen lah anjir, mana sekelas mulu" balasku yang sangat berlawanan dengan apa kata hatiku.
Maximus tertawa pelan. "Gue sih kagak ada bosen-bosennya, abis lo kan cantik, enak diliat gitu" godanya. Aku tahu ia hanya menggodaku, tapi tetap saja jantungku berdegup kencang. Siapa wanita yang tidak jantungan saat digoda oleh pria yang ia sukai?
"Gombal aja terus, dasar tapir" balasku tanpa mengeluarkan ekspresi apapun.
Maximus benar-benar tertawa lebar, ia lalu menatapku dengan mata 'bulan sabit' nya. "Asli deh, lo kenapa sih ga pernah bisa kemakan sama omongan gue?"
'Anda tidak tahu saja tuan Maximus bagaimana jantung saya setiap kali anda menggoda saya,' aku berkata miris dalam hatiku.
Aku mengangkat kedua bahuku, "udah terlalu kebal kali sama lo, lo kan dari kecil aja udah kerdus"
Memang benar, sejak kecil Maximus memang sudah sangat suka menggoda anak-anak gadis lainnya. Pernah sekali ia menggoda salah satu temanku saat SD, dan temanku itu terus berpikir jika Max menyukainya. Padahal Max hanya menggoda untuk kesenangannya saja.
"Jeh sialan" balas Maximus sambil menyubit tanganku pelan.
Kami memang bersahabat dengan tidak normal. Teman-teman kami yang sudah pernah satu sekolah dengan kami pasti sudah mengetahuinya. Kami tak jarang berdebat untuk hal tak penting, dan parahnya lagi tak jarang kami saling menjambak dan memukul saat bercanda. Kalau kata Max, kami ini antimainstream.
Mama dan Papa saja sudah seakan tidak mau perduli lagi kalau kami sudah bersatu.
Max ini suka sekali menginap di rumahku, dan papa mama menerimanya saja. Mungkin karna Max menggantikan posisi Iel yang sekarang sudah dimutasi ke Jepang bersama Om Dion. Atau mungkin karna papa mama juga ingin memberikan kasih sayangnya kepada Max, karna adalah anak broken home yang sering tinggal sendirian di rumah.
Max itu anak yang tak pernah kekurangan uang, keluarganya sangat kaya raya, tapi Max tidak pernah merasakan bagaimana kasih sayang keluarganya karna mama papanya sering pulang pergi keluar negeri. Tak jarang Max bilang kalau ia sangat iri denganku.
Max pernah bilang kepadaku seperti ini, "kasih sayang itu gak bisa dibayar pake apapun, uang sekalipun" disaat itu pula aku merasa bersyukur memiliki mama dan papa yang sangat menyayangiku dan menjagaku dengan sepenuh hati.
Karna hal itu pula, aku menjadi sangat menjaganya dan tidak pernah merasa iri saat mama dan papa membagi kasih sayangnya kepada Max.
"Bengong aja, napa sih?" tanya Max yang membuatku menggeleng pelan.
"Lagi nginget list drama korea apa yang mau gue tonton selanjutnya" jawab ku asal.
Max menatapku lagi, "lah emang yang kemaren udah abis ditonton?"
Aku mengangguk.
"Anjir jahat lo kagak nungguin gue!"
Tak usah diragukan lagi kalau Max adalah pecinta drama Korea. Virus dari mama itu benar-benar ampuh, bahkan aku dan Max saja terkena virus dari mama sejak SD. Hanya papa yang tidak terkena virus itu, aku salut dengan papa.
Aku menghela napasku. "Ya gimana, gue udah diajak nonton duluan sama ibu negara."
Ibu negara, panggilan untuk mama dari papa yang selalu dipanggilnya saat keputusan mama tidak ingin diganggu gugat.
"Yelah si ibu negara," gumam Max pelan. Ia lalu terdiam dan berpikir sebentar. "Tar gue nginep dah" ucap Max.
Aku mengangguk saja membalasnya. Bagi keluargaku, rumah kami adalah rumah Max juga. Kapanpun Max ingin datang dan menginap, rumah kami akan selalu terbuka untuknya.
×××÷×××
Gimana nih part 1 nya? Semoga kalian suka deh yaa.
Ini aku ngambil sikapnya Cellia jadi kayak tsundere-tsundere gitu, hampir sama kayak Becca .-.
Max itu karakternya hampir sama kayak karakter Edward di Over and Over Again (bagi yang pernah baca, sekarang udah aku unpublish).
Thankyou udah baca cerita ini^^
Hope you guys like it♥
See you next time ;)
CALARIDE_
KAMU SEDANG MEMBACA
I've got a crush on my bestfriend [ON HOLD]
Teen Fiction[Sequel of Young Marriage] Kata orang, jika laki-laki dan perempuan bersahabat tidak ada yang namanya benar-benar berteman. Salah satu diantara orang itu pasti ada yang jatuh cinta kepada sahabatnya sendiri. Seperti aku. Aku menyukai sahabatku sendi...