ENAM

8K 980 103
                                    

Sebelumnya mau minta maaf dulu karena adegan yang bikin gerah saya tunda. Dan buat bab berikutnya, saya mau 260 vote dan 90 komen (ngelunjak ya? sengaja biar saya bisa nyantai dulu). Dan akan semakin naik jika responnya bagus. Juga mau ngucapin makasih buat teman-teman sekalian yang udah nyempatin waktunya buat ngasih vote dan komen di bab sebelumnya.

Segitu aja dan nggak mau panjang2 cuitannya. Selamat membaca dan semoga coretan saya ini bisa menemani kalian di waktu senggang.

🍃🍃🍃

                                                

Danu masih tersenyum-senyum sendiri membayangkan kejadian kemarin, di apartemen yang dulu menjadi tempat tinggalnya sebelum menikah.

Senyum Danu yang tak biasa itu masih terus tercetak di bibirnya bahkan saat ia memeriksa beberapa berkas yang akan ia tangani. Hingga senyum itu langsung menghilang seketika saat mendengar pintu ruang kerjanya terbuka dan menampakkan sosok ibunya yang selalu memberikan ia senyum cerah. Namun menjelang waktunya istirahat makan siang ini, senyum wanita terkasihnya itu tak tampak, sebagai gantinya hanya tatapan sendu yang Danu dapat.

"Kenapa, bu?" cepat Danu berdiri dari kursi kebesarannya, menghampiri sang ibu tercinta dan membimbingnya untuk duduk di sofa yang tersedia dalam ruangannya.

Wulan menggeleng pelan sambil menatap putra kesayangannya. Tak terkira sakit hatinya mendengar hinaan yang diarahkan untuk anaknya ini. Selain berbakti kepada orang tua, anaknya ini juga memiliki hati yang baik. Selalu menolong orang yang berada dalam kesulitan, terutama yang terjadi di depan matanya.

"Ibu kenapa sih? Kok ngeliatin Danu sampai segitunya?" tanya sembari menggenggam tangan ibunya selalu hangat.

"Nggak ada apa-apa." akhirnya Wulan bersuara. "Tiba-tiba aja kangen sama kamu, makanya mampir ke sini sebentar sebelum ke tempat ayahmu."

Danu manggut-manggut. Selain pintar mengatur ekspresi wajah, ibunya ini juga pintar menyembunyikan apapun yang dirasa, didesak seperti apapun beliau tidak akan mau membuka mulutnya. Maka dari itu, Danu yang sudah hafal betul sifat ibunya itu memilih berpura-pura percaya saja. Ada saatnya ibunya ini akan bercerita jika tak tahan lagi memendam masalah.

                                                   
"Oh iya nak, ibu mau nanya sesuatu hal sama kamu. Ini sedikit privasi, tapi ibu penasaran pengen tau jawaban kamu."

"Apa?"

"Selama usia pernikahan kamu sama Bianca, kamu pasti pernah kan meminta hak kamu sebagai suami kepada istrimu yang super sibuk itu?"

Ah... sekarang Danu tahu alasan kenapa ibunya nampak menatap ia intens begitu. Yang janggal menurut Danu, kenapa nada suara ibunya terdengar sinis? Padahal, biasanya saat membicarakan Bianca, ibunya terlihat selalu ramah dan menerima saja kesibukan menantunya itu.

"Ibu kenapa tiba-tiba nanyain hal itu?" tanya Danu tenang tanpa menunjukkan ekspresi yang berarti.

Wulan mengangkat bahunya berlagak santai. Ia tahu benar bagaimana insting anaknya selalu terasah dengan baik di setiap situasi, untuk itu iapun berusaha terlihat santai demi menghindari kecurigaan. "Ibu kan tadi udah bilang kalau ibu cuma penasaran aja. Kalau kamu nggak keberatan, ya dijawab aja kenapa sih."

Mencari Arti Bahagia [TTS #4 |SELESAI | Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang